Pendidik Kristen dan layanan grabbike



Pelayanan GrabBike yang luar biasa

Beberapa minggu yang lalu, setelah mengikuti Natal di suatu gereja kemudian saya memesan grabbike untuk kemudian diantar ke rumah. Setelah sampai di tujuan, saya kemudian bergegas turun dari grabbike, kemudian mengambil dompet di kantong celana dengan maksud mengambil uang untuk membayar ongkosnya. Harga yang ditentukan oleh layanan online grabbike waktu itu yakni Rp 7.000,00. Ketika saya hendak membayar, sang pengemudi berkata kepada saya, bapak dapat diskon jadi bapak hanya membayar Rp 2.000,00. Mendengar itu, saya hampir tidak percaya. Sang pengendari grabbike menyatakan bahwa sebenarnya ada diskon pada malam hari pak. Saya kemudian berkata “luar biasa layanan grabbike”. Sukses pengendara grabbike dan layanan grabbike.
Setelah peristiwa yang mengesankan ini, beberapa hari kemudian saya mendapatkan informasi di internet dari sebuah iklan yang mempromosikan diskon layanan grabbike sebesar 50 dan 70 persen. Gambar berikut ini saya ambil dari internet. Saya sengaja mencantumkan ini karena menurut saya, saya telah mengalami layanan diskon 70 %. Sukses buat GRABE BIKE


Persiapan Natal 2016

Pada hari Sabtu tanggal 24 Desember 2016 pukul 16.30.00 WIB saya memesan gabbike untuk ke Kabaktian yang diadakan pada pukul 17.00- 19.00 di Salah satu gereja di Jakarta Timur. Kembali lagi saya mendapat layanan terbaik dari grabbike. Pengemudi grabbike datang tepat waktu. Sewaktu dalam perjalanan dengan grabbike, pengemudi grabbike yang mengantar saya mengucapkan selamat persiapan Natal kepada saya. Mendengar ucapan selamat persiapan Natal oleh sang pengemudi tersebut, saya menjadi sangat senang. Hal yang sama terjadi ketika pulang dari kebaktian. Di pintu keluar, saya bersalaman dengan seorang petugas mengucapkan selamat Natal kepada saya. Saya kemudian katakan terimakasih kepadanya.
Kembali dari gereja menuju ke rumah dengan grabbike. Pengemudi datang tepat waktu dan melayani saya dengan senyum Indonesia, kemudian kami berangkat menuju rumah. Sesampainya di rumah saya kemudian mengeluarkan Rp 7.000,00 untuk membayar ongkos grabbike. Luar biasa pelayanan grabbike. Sukses untuk pelayanan Grabbike.

Hari ini tanggal, 26 Desember 2016 tepat jam 09.00 seseorang mengucapkan selamat Natal. Biasanya pada setiap Natal selalu datang ke rumah sebaliknya pada hari raya keagamannya, saya pun mengunjungi dan memberi salam. Dalam Natal 2016, ia memberi selamat Natal kepada saya. Mari kita saling menghargai dan menyongsong perubahan itu. Seorang Presiden dari negara tertentu juga mengucapkan selamat Natal. Kita bersaudara dalam satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Mari kita pupuk "Kebineka Tunggal Ikaan" di Indonesia.Biarlah sang bayi Natal, sang pendamai itu menolong kita dalam perayaan Natal 2016. Kita juga berterima kasih kepada pemerintah RI dan aparat keamanan yang telah, sedang dan akan tetap melindungi warganya dalam melaksanaan kebebasan beribadah sesuai keyakinan yang dianut.
10 karakter guru yang sangat efektif

10 karakter guru yang sangat efektif


Implementasi 10 karakter yang harus dimiliki Guru PAK yang sangat efektif dalam mewujudkan kesuksesan mengajar
Topik di atas merupakan pergumulan seorang pendidik yang bernama Elaine K. McEwan. Pengalaman itu dituangkan secara baik dan dapat dipelajari oleh setiap guru di Indonesia. Silakan Anda mencari buku dengan Judul: “10 Karakter yang Harus dimiliki Guru yang Sangat Efektif. Bagaimana Merekrut, Melatih dan Membimbing Para Guru yang Sukses”.
Saya mencoba membagikan kepada para pembaca tentang 10 Karakter Guru yang diimplementasikan kepada para pendidik dalam dunia Pendidikan Agama Kristen .
Kesepuluh karakter yang harus dimiliki Guru yang Sangat efektif, yaitu seorang Pendidik Agama Kristen memiliki sikap atau mulai membiasakan sikap-sikap positif (sikap unggul) berikut ini:

1. Bergairah dan terdorong misi
2. Positif dan riil
3. Seorang guru pemimpin
4. Pengajaran yang membawa hasil
5. Menemukan gayanya sendiri
6. Keahlian motivasional
7. Efektivitas instruksional
8. Pemelajaran buku
9. Kecerdasan lapangan
10. Kehidupan mental

Seperti apa maksud dari setiap karakter di atas maka segeralah memiliki judul buku tersebut di atas. Carilah di Gramedia atau toko-toko buku terdekat. Buku ini sangat baik untuk para guru. Membaca isi buku ini membuat kita tergugah, dan boleh jadi meneteskan air mata. Sering orang mengajar sekadarnya saja. Ayo baca dan terapkan 10 karakter dalam mengajar Semoga bermanfaat. Silakan Anda mencari buku ini dan usahakan memilikinya dan membaca secara mendalam, pasti akan menemukan mutiara-mutiara yang sangat berharga dalam mengajar. Anda bisa mencarinya di Toko Buku Gramedia
Beberapa Variabel Penting dalam Pendidikan Kristen

Beberapa Variabel Penting dalam Pendidikan Kristen



1. Kelahiran Kembali Bagi Seorang Pendidik Kristen

Seorang Pendidik Kristen harus mengalami kelahiran kembali (proses pembaharuan hidup dalam Yesus Kristus). Kelahiran kembali sebagaimana yang dimaksud disini dapat diperhatikan dalam narasi percakapan Yesus dengan Nikodemus. Pada watu Nikodemus menemui Tuhan Yesus pada watu malam, Nikodemus menanyakan apa yang ia lakukan untuk memperoleh hidup yang kekal. Maka Yesus menjawabnya sampai tiga kali untuk dilahirkan kembali (Yoh. 3:1-11). Nikodemus seorang Farisi, pemimpin agama Yahudi yang berpendidikan tetapi datang kepada Yesus untuk mendapatkan hidup yang kekal. Syarat yang harus dimiliki untuk meneriama hidup yang kekal adalah kelahiran kembali oleh kuasa Roh Kudus.
Kelahiran kembali sebagaimana yang dimaksud di atas menjadi suatu syarat yang mesti dipenuhi oleh seorang yang hendak menjadi guru Pendidikan Kristen. Seorang Pendidik Kristen seyogyanya sudah mengalami kelahiran kembali dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat secara pribadi. Stephen Tong menyatakan, “Kalau seorang pendidik memiliki kepribadian yang belum beres, atau tidak sesuai dengan kedudukan atau kewajiban sebagai pendidik, maka pribadinya yang tidak baik akan merusak orang lain”.(Mary Setiawani dan Stephen Tong, 1995:38). Hal senada Mary Go Setawani yang menandaskan, “Seorang yang tidak memiliki hidup Kristus, tentu tak sanggup membina, hidup apalagi mempengaruhi orang lain” (Mary Setiawani, t.th: 7)
Kelahiran kembali merupakan suatu proses ilahi yang harus teralami dalam diri guru Pendidik Kristen . Pada saat seseorang mengalami pengalaman spiritual yaitu dijamah Roh Kudus maka orang tersebut akan mengakui dan meninggalkan segala dosa, dan bersedia untuk hidup kudus sehingga ia disebut manusia baru atau ciptaan baru di dalam Kristus (II Kor. 5:17). Pendidik Kristen yang telah mengalami kelahiran kembali akan memberikan dampak positif terhadap kehidupan peserta didik. Dalam hal ini benarlah perkataan Stephen Tong, yaitu: Seorang guru agama Kristen haruslah seorang yang sudah mengalami diperanakan pula (dilahirkan kembali). Ini menjadi faktor utama yang penting. Jika ada orang yang sudah betul-betul diperanakan pula, berjanji bersekutu dan berdoa, berani untuk menggarap sistem pendidikan, masa depan akan sangat berbeda dan akan terbentuk pemuda-pemuda yang baik yang berbeda dengan guru-guru sekarang yang tidak memiliki sasaran.(Stephen Tong, 1995:23)
Dari uraian di atas, jelas bahwa seorang guru PAK harus menerima kelahiran baru dari Roh Kudus, sehingga saran dan tujuan hidup seorang guru menjadi dasar untuk mengajarkan kebenaran Firman Allah kepada peserta didik.
Jadi, kelahiran kembali merupakan syarat yang mutlak bagi setiap Pendidik Kristen dalam melaksanakan proses pendidikan Kristen bagi peserta didik sehingga peserta didik diarahkan mengalami perjumpaan dengan Yesus Kristus.

2. Terpanggil sebagai Pengajar

Setiap orang mempunyai panggilan yang berbeda-beda untuk melakukan pelayanan yang dipercayakan Tuhan bagi umat-Nya. Untuk mengerti dan memahami panggilan Tuhan sebagai pengajar merupakan pergumulan pribadi yang membutuhkan penyerahan diri secara total untuk dipakai Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Allahlah yang memanggil umat-Nya untuk melakukan tugas pengajaran dan melalui iman setiap orang percaya memahami bahwa Allah memanggil setiap guru PAK untuk mengajarkan Firman Allah. Hal ini ditegaskan oleh Samuel Sidjabat yang menyatakan, Ada dua hal penting yang perlu kita tahu tentang kehendak Allah berkaitan dengan tugas dan panggilan keguruan: Pertama; Allah memanggil kita untuk menjadi umat kepunyaan-Nya serta untuk mengasihi Dia dengan segenap kepribadian (I Ptr. 2:9; Mrk. 12:29-30) Allah menghendaki agar kita hidup memuliakan Dia dalam atau lewat apa yang kita kerjakan (Kol. 3:23; I Kor. 10:31). Kedua; Allah memanggil kita sejak semula untuk menjadi kawan sekerja-Nya. Hal ini telah dinyatakan kepada Adam dan Hawa, nenek moyang manusia pertama kali dahulu (Kej. 1:28). (Sidjabat, 1996:334-335)
Untuk meresponi panggilan Tuhan, diperlukan pengabdian dengan menyerahkan segenap hidup bagi pekerjaan-Nya (Rm. 12:1-2). Panggilan Allah secara khusus ditujukan kepada setiap guru PAK. Homrighausen dan Enklaar menyatakan bahwa para pendidik itu telah mendapat panggilan yang khusus untuk pekerjaan yang khusus. Oleh sebab itu, mereka juga memerlukan tenaga pendorong yang khusus pula untuk dapat melaksanakan pekerjaan yang suci mulia dan hati yang menyala-nyala. (E.G. Homrighausen dan I.H. Enklaar, 13)
Hal senada dinyatakan Mary Go Setiawani:

Bila guru memahami bahwa pekerjaan pendidikan di sekolah adalah panggilan khusus dari Allah, dan yakin bahwa dirinnya sedang melayani Allah, maka seharusnya ia dapat setia dan bertanggung jawab kepada Allah. Sehingga dalam kesucian yang bagaimanapun, ia tetap teguh dalam iman, sabar dan setia sampai mati.
Pendidik Kristen telah mendapat panggilan yang khusus untuk mengajar sehingga bertanggung jawab atas pangilan tersebut. Panggilan dari Allah untuk tetap hidup suci, kudus, teguh dalam iman dan tetap setia mengikuti panggilan Tuhan. Yohanes calvin memberikan syarat yang harus ditaati atau dipatuhi oleh setiap pelayan yang benar dan sesuai dengan kehendak Allah. Pertama, para pengajar haruslah orang yang dipanggil Tuhan untuk melakukan pelayanan tersebut. Kedua, mereka yang dipanggil untuk mengajar, harus menjawab panggilan itu. Mereka harus dengan tekun dan rela memikul serta melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya (Yohanes Calvin, 2000:246)
Dalam surat Yakobus 3:1 tertulis, “Saudara-saudara janganlah banyak orang diantara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat”. Dalam hal ini tidak semua orang dipanggil menjadi guru. Kata “jangan banyak” memiliki arti yang terbatas pada jumlah orang, sehingga panggilan untuk mengajar jelas dari Tuhan dan menjalankan panggilan tersebut untuk kemuliaan Tuhan saja. Istilah ini juga menjadi suatu peringatan serius bagi setiap pengajar, agar melaksanakan tugasnya dengan penuh integritas.
Dalam hal ini panggilan untuk mengajar dengan jelas dari Tuhan dan melaksanakan panggilan itu dengan penuh tanggung jawab sebagai anugerah Allah. Oleh karena itu, seorang pengajar harus tetap mengabdi atau setia sampai mati (bnd. Why. 2:10).

3. Dewasa dalam iman

Kelahiran baru dan keterpanggilan menjadi pengajar adalah hal yang mendasar menuju kedewasaan iman di dalam Kristus. Kedewasaan iman guru Pendidik Kristen akan memberikan pengaruh positif bagi setiap peserta didik dalam keteladanan mentaati Firman Allah.
Samuel Sidjabat menyatakan, “Guru terpanggil untuk bertumbuh ke arah pengenalan yang semakin mendalam dan lengkap tentang pribadi Yesus Kristus (bnd. Kol. 2:6-7; Gal. 2:19-20)” (Sidjabat, 36). Pengenalan yang semakin mendalam yang dimaksud adalah terus-menerus memperkaya diri dengan belajar firman Allah.
Dalam Kolose 2:6-7 tertulis, “Kamu telah meneima Kristus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia. Hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur”. Kedewasaan iman hanya bisa terjadi jika seseorang tetap berada di dalam Kristus, berakar di dalam Dia dan memiliki iman yang teguh di dalam Kristus. Guru PAK yang tidak memiliki kedewasaan iman akan membuat kehidupan rohani peserta didik tidak bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus.
Mary Go Setiawani menyatakan,
Seorang Kristen yang suam-suam kuku dan tidak mempunyai kerinduan untuk maju dalam kehidupan rohaninya, tak mungkin memiliki gairah untuk memperhatikan kehidupan rohani orang lain; bila guru sendiri tidak mempunyai kerinduan dan kurang berlatih dalam hal-hal rohani, ia tidak dapat melatih atau membina muridnya. Hanyalah orang Kristen memiliki kerinduan untuk bertumbuh dalam Kristus layak menjadi guru (Mary Go Setiawani, Op. Cit. hlm. 7)

Dewasa dalam iman menjadikan guru PAK bertahan dalam penderitaan, tantangan dan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar, karena iman merupakan dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang belum terlihat (Ibr. 11:1). Iman yang kokoh di dalam Kristus memberikan pengaruh yang baik bagi peserta didik untuk menerima dan mendengar setiap pengajaran firman Allah yang menimbulkan atau menumbuhkan iman (bnd. Rm. 10:17).
Unsur-unsur Pendidikan Kristen

Unsur-unsur Pendidikan Kristen


Pendidikan Kristen berpusat pada Yesus Kristus. Oleh karena itu maka Pendidikan Kristen yang dilaksanakan di berbagai setting: seperti Pendidikan Kristen di Keluarga, Gereja, Sekolah harus didasarkan pada nilai-nilai Kristen. Nilai-nilai ini tidak dapat dipisahkan dari Kristus. Pengenalan Kristus itu terlaksana melalui firman tertulis (Alkitab). Dalam melaksanakan Pendidikan Kristen, ada beberapa unsur Pendidikan Kristen. Paling tidak ada empat unsur pendidikan Kristen yang penting sebagaimana tercermin dalam kehidupan jemaat mula-mula yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 2:42-47, dan semuanya harus ada dalam program pendidikan Kristen (Robert E. Clark, 1998:397-399). Keempat unsur itu yakni:

1. Pengarahan

Pengarahan, lewat khotbah dan pengajaran, terutama berhubungan dengan kecerdasan dan melibatkan penyampaian informasi, doktrin, serta kebenaran Alkitab. Proses ini juga meliputi pelatihan, seperti pengembangan ketrampilan mengajar atau kepemimpinan. Karena mengajar dan berkhotbah praktis berhubungan dengan proses melatih dan mengembangkan kecerdasan, maka pengarahan akan memberikan dasar (yang juga meliputi pengajaran kabar baik tentang keselamatan) dalam pertumbuhan menuju kedewasaan dalam Kristus sebagai manusia yang bertumbuh dalam pengetahuan akan Dia dan Firman-Nya.

2. Penyembahan

Penyembahan artinya mengekspresikan pikiran kita tentang Tuhan kepada Tuhan. Penyembahan dalam bahasa Inggris kuno berasal dari kata "worthship" yang menunjuk pada kelayakan seseorang dalam menerima pujian dan hormat. Sikap yang benar dimana kita mengakui siapa Tuhan itu serta hak-Nya untuk menerima pujian dan kekaguman kita adalah unsur penting dalam penyembahan. Walau penyembahan atau ekspresi hati terutama melibatkan perasaan emosi seseorang, hal itu harus dilakukan berdasar pengenalannya akan Tuhan. Lois E. LeBar mengatakan, "Penyembahan adalah pemujaan kepada Tuhan saja, bersyukur pada Dia untuk segala kebaikan- Nya bagi kita, dan menyerahkan segala keinginan kita menjadi kehendak-Nya dalam hadirat-Nya. Ketika pengarahan berhubungan dengan akal, maka penyembahan menantang perasaan dan keinginan kita. Dan dengan dasar yang Alkitabiah, tingkah laku kita akan dibentuk menurut kesukaan-Nya."

3. Persekutuan

Unsur ketiga yang harus menjadi bagian penting dalam program pendidikan Kristen di gereja adalah persekutuan. Seorang percaya tidak hanya merindukan persekutuan dengan Juruselamat dan Tuhannya, namun ia juga mencari pendidikan moral lewat gereja selaku tubuh Kristus (Ef. 4:15-16, 1Yoh. 1:3). Persekutuan yang benar tentu lebih dari sekedar aktivitas sosialisasi atau rekreasi atau sebatas sebagai kegiatan kumpul-kumpul yang membuat anggotanya merasa nyaman berada dalam kelompok, namun juga sebagai sarana saling membangun satu sama lain lewat perhatian, doa, sharing, pemanfaatan talenta dan kemampuan serta pengembangan pertemanan Kristen yang hangat. Persekutuan semacam ini dapat dilakukan oleh berbagai kelompok umur. Bahkan anak-anak juga dapat membangun atmosfer komunitas lewat kegiatan yang menawarkan kerjasama daripada persaingan. Dalam konteks pelayanan dewasa, LeBar mengatakan, "Kedalaman persekutuan mereka dengan Tuhan dan sesamanya akan memunculkan kualitas penyembahan dan penginjilan dalam gereja."

4. Pelayanan Nyata

Unsur keempat yakni pelayanan nyata, berfokus pada kewajiban tiap pribadi orang percaya untuk bertindak berdasarkan pengetahuan dan imannya. Hal ini dapat dilakukan dalam berbagai cara. Ia dapat berbicara mengenai imannya, mengajar, melakukan kunjungan, melayani sebagai diaken, membantu dalam bidang administrasi gereja lokal, melatih orang lain, menunjukkan keramahan dan kasih bagi mereka yang sedang sakit dalam perkumpulan, doa atau memimpin pelajaran Alkitab. Pelayanan macam ini tidak hanya memungkinkan untuk dilakukan oleh beberapa orang saja, namun juga oleh berbagai kelompok umur, anak-anak, pemuda, dan orang dewasa juga dapat dilibatkan.
Selain empat unsur di atas, satu aspek penting lagi yang perlu ada dalam program pendidikan Kristen di gereja adalah Penginjilan. Penginjilan atau pemaparan tentang Injil adalah tujuan utama dalam pendidikan Kristen sebagaimana diperintahkan oleh Alkitab. Hal ini tidak dimasukkan sebagai salah satu bagian dari keempat unsur sebelumnya, namun meresap kedalamnya. Pengarahan, penyembahan, persekutuan dan pelayanan nyata, semuanya dapat dipakai oleh gereja sebagai alat penginjilan untuk memenangkan jiwa bagi Kristus. Sebagai contoh, dalam sebuah kegiatan camp (yang meliputi empat unsur tersebut), seorang murid SMU dapat menerima Yesus sebagai Juruselamatnya lewat berbagai macam aktivitas. Dia mungkin dapat mendengar dan menanggapinya ketika mendengar khotbah (pengarahan), ketika malam perenungan api unggun (penyembahan), atau lewat bimbingan rekan sekamarnya (persekutuan, pelayanan nyata). Gereja lokal harus bertanya pada diri sendiri, apakah orang-orang yang terlibat dalam berbagai program dan pelayanan kita benar-benar menampakkan pernyataan bahwa Kristus adalah Juruselamat sehingga mereka yang belum bertobat dapat dan akan menanggapinya? Apakah ada penekanan akan keselamatan dalam pertumbuhan dan pelayanan? Penilaian yang dilakukan secara berhati-hati terhadap program- program pendidikan Kristen bagi kelompok umur tertentu mungkin akan menunjukkan adanya penekanan berlebihan atau yang kurang atas salah satu dari keempat unsur di atas. Tiap departemen harus bekerja secara baik untuk membuat daftar urutan semua rencana program yang akan dilakukan selama setahun (Sekolah Minggu, program Minggu malam, camp, sekolah Alkitab liburan, persekutuan kelompok mingguan) dan mengetahui unsur mana yang memerlukan penekanan khusus dalam setiap detail program.
Contoh Bab I Skripsi Pendidikan Kristen

Contoh Bab I Skripsi Pendidikan Kristen


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Efektivitas adalah suatu kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang digunakan, serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan. Jadi, efektivitas adalah suatu ukuran pencapaian atau tingkat keberhasilan seseorang atau orgnaisasi dalam upaya mencapai tujuan atau sasaran. Dalam hal ini efektivitas menunjukkan ketercapaian tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Dengan kata lain, efektivitas merupakan suatu konsep yang menggambarkan tentang keberhasilan suatu usaha dalam mencapai tujuannya.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa tujuan menjadi pokok pertama dan utama dari sebuah kegiatan, khususnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang hendak dibahas disini yakni efektivitas Pendidikan Agama Kristen. Efektivitas Pendidikan Agama Kristen diukur dari tercapainya tujuan Pendidikan Agama Kristen yang telah ditetapkan. Artinya Pendidikan Agama Kristen yang dilakukan sejak zaman Perjanjian Baru sampai dengan gereja dan lembaga Pendidikan masa kini tentu didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memanggil murid-murid dengan tujuan yang jelas yaitu menjadikan mereka sebagai penjala manusia (Mat. 4:19). Berdasarkan ayat ini nampak jelas bahwa Yesus memanggil murid-murid-Nya dengan tujuan yang jelas. Selanjutnya gereja melaksanakan Pendidikan Agama Kristen berdasarkan tujuan. Orientasi mencapai tujuan seperti inilah yang disebut dengan Efektivitas Pendidikan Agama Kristen.
Uraian di atas menegaskan bahwa usaha orang dewasa memberi tuntunan kepada orang yang belum dewasa yang biasa disebut dengan istilah edukasi yaitu pendidikan dilakukan dengan memiliki tujuan yang jelas. Tidak ada pendidikan yang tidak memiliki tujuan. Semua bentuk pendidikan memiliki tujuan. Oleh karena itu maka perlu ada sejumlah kegiatan yang dilakukan dalam tindakan edukatif untuk mencapai tujuan tersebut. Tindakan edukasi seperti ini dilakukan oleh seorang pendidik kepada seseorang atau sekelompok anak sehingga memiliki kecakapan hidup.



Tindakan sebagaimana yang dimaksud di atas dalam lingkup Pendidikan Agama Kristen dilakukan oleh para guru. Guru-guru yang melaksanakan pendidikan Kristen memiliki pengaruh positif terhadap perilaku anak. Pengaruh ini bukan berasal dari diri guru Pendidikan Agama Kristen melainkan di dalam karya Roh Kudus. Hanya Roh Kudus yang dapat berkarya dalam diri para guru dan anak didik sehingga terjadilah perubahan. Perubahan ini dalam dunia pendidikan disebut dengan istilah perubahan kognitif, afektif dan psikomotorik.
Pendidikan yang memberi perubahan adalah pendidikan yang berlangsung dalam pimpinan Roh Kudus yang didasarkan pada ajaran Yesus. Dalam pendidikan ada unsur keteladanan hidup dan pengajaran. Keteladanan dan pengajaran itu telah dilakukan oleh Yesus. Yesus sebelum terangkat ke sorga, Ia memberi perintah kepada murid-murid-Nya untuk melakukan pengajaran yang menolong orang lain untuk melakukan kehendak-Nya. Hal ini ditegaskan dalam Matius 28:10,20. Ajaran Yesus dalam ayat ini menyatakan: “...ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu ...” (Mat. 28:10,20)
Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya jelas yaitu mengajar untuk melakukan apa yang diajarkan Yesus. Yesus menghendaki agar setiap orang hidup dalam perilaku yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan yaitu segala yang baik yang harus dilakukan oleh orang percaya. Kelakuan orang percaya harus sesuai dengan kehendak Tuhan.
Berdasarkan perintah Yesus sebagaimana yang disebutkan di atas menjadi jelas bahwa setiap orang Kristen, khususnya peserta didik harus diajar untuk melakukan apa yang diajarkan oleh Yesus. Masalah yang muncul yakni terjadinya penyimpangan karakter di masyarakat. Penyimpangan karakter yang dimaksud yaitu munculnya perilaku atau sifat-sifat yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat dapat diklasifikasikan dalam beberapa norma, yaitu norma umum dalam masyarakat, dan norma agama sesuai dengan penganut keyakinan tersebut. Dalam Agama Kristen, selain ada norma umum, orang Kristen mempunyai norma sesuai dengan ajaran Alkitab. Norma-norma ini harus diikuti oleh anggota masyarakat. Bila tidak dituruti maka seseorang dapat dikatakan menyimpang dari norma.
Fakta menunjukkan bahwa di masyarakat terjadi berbagai penyimpangan karakter. Beberapa penyimpangan karakter yang terjadi di masyarakat yang menjadi sorotan dunia bahkan di Indonesia baru-baru ini yakni perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender yang disingkat LGBT. Di Amerika Serikat misalnya mahkamah Agung telah menyatakan bahwa pasangan sejenis mempunyai hak untuk melakukan pernikahan sejenis (www.bbc.com). Sementara di Indonesia, belum ada pengesahan untuk pernikahan sejenis. Namun fakta bahwa LGBT ada di Indonesia tidak dapat disangkali.
Fakta adanya LGBT di Indonesia dapat membawa berbagai penafsiran terhadap LGBT. Apakah LGBT itu legal. Artinya tidak menyimpang dari norma umum maupun norma Agama. Dalam pertanyaan yang lebih spesifik. Apakah LGBT bertentangan dengan Alkitab atau tidak?. Apakah Alkitab menghendaki agar sesama jenis dapat menikah.? Di Amerikan hal ini diperbolehkan. Namun bagaimana dengan Indonesia, khususnya dalam Gereja. Gereja adalah pelaku Pendidikan Agama Kristen. Bagaimana gereja melakukan Pendidikan Agama terhadap LGBT?. Bila LGBT adalah penyimpangan perilaku di masyarakat maka bagaimana efektivitas Pendidikan Agama Kristen ? Penyimpangan perilaku tersebut di atas dapat saja mempengaruhi orang Kristen dari berbagai tingkat usia, baik yang ada di sekolah seperti usia SD, SMP, SLTA, Perguruan Tinggi maupun anggota masyarakat yang telah bekerja. Tidak menutup kemungkinan anggota gerejapun dapat melakukan penyimpangan karakter dalam hal lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

LGBT sebagaimana yang dideskripsikan di atas merupakan fenomena dalam masyarakat dan dapat dikategorikan sebagai penyimpangan karakter. Namun penyimpangan karakter itu tidak hanya sebatas LGBT. Akan tetapi penyimpangan tersebut berhubungan dengan perilaku yang lain. Misalnya dalam suatu “kasus massal yang terkuak di media masa yaitu seorang guru yang seharusnya memberi contoh yang baik kepada siswa justru menyuruh murid yang paling pintar di kelas untuk memberikan contekan kepada teman-temannya.” (Azzet, Muhaimin, 2011:5) Kasus yang disebut di atas merupakan penyimpangan karakter dalam hal kurangnya keteladanan pendidik yang seharusnya menjadi panutan siswa dan masyarakat. Kasus menyontek tersebut di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter bangsa Indonesia terus menerus dilaksanakan, salah satunya perlu ada karakter yang baik dari para guru yang mengajar siswa. Siswa (peserta didik) sehingga tidak hanya mencerdaskan siswa secara intelektual (kemampuan kognitif) dan emosional, namun juga karakternya perlu dibangun atau dibentuk agar kelak menjadi pribadi yang unggul dalam karakter yang baik.
Di Indonesia juga sedang digalakkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter hanya dapat berhasil bila guru yang mengajar juga berhasil dalam karakter yang baik. Daniel Stefanus menyatakan bahwa pendidikan agama yang dilakukan selama ini di Indonesia bukan pendidikan melainkan pengajaran agama. Menurut Daniel Stefanus, prinsip pendidikan agama seharusnya merupakan upaya menginternalisasi nilai agama pada peserta didik. Namun kenyataannya, pendidikan agama di sekolah hanya merupakan pelajaran yang berorientasi pada kognitif yaitu pelajaran menghafal ajaran agama. Hasilnya pendidikan agama di sekolah hanya mampu membawa peserta didik memperoleh nilai bagus dalam pelaksanaan ujian. Pendidikan Agama di Sekolah tidak mampu menampilkan perbaikan karakter. Korupsi tetap merajalela, penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan semakin marak, tawuran pelajar, penyalahgunaan narkotika di kalangan pelajar. Semua ini menunjukkan lemahnya pendidikan karakter. (Daniel Stefanus, 2009:94-95)

Penyimpangan karakter di masyarakat juga meliputi praktik ketidakjujuran, kecurangan, dan juga ketidakadilan dalam berbagai bidang politik, sosial, dan termasuk bidang pendidikan. Kecurangan pendidikan misalnya adanya bantuan kepada siswa pada saat ujian nasional berupa jawaban yang diberikan sekolah.
Berbagai penyimpangan karakter yang terjadi di masyarakat menyebabkan munculnya pendidikan karakter. Pendidikan Agama yang diharapkan dapat menolong perubahan karakter juga dinilai tidak berjalan secara efektif. Pendidikan Agama dianggap gagal atau kurang efektif terhadap perilaku anak. Daniel Stefanus mengutip pendapat Haidar Bagir yang menilai kegagalan pendidikan agama di Indonesia dalam beberapa aspek, yaitu :

“Pertama, pendidikan agama di Indonesia selama ini ditenggarai masih berpusat pada hal-hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik dan legal formalistik. Pelaksana Pendidikan Agama merasa puas dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan, penghayatan keagamaan yang berpusat pada pelaksanaan ritual. Wacana pemikiran sering bersifat legal formalistik, yakni halal atau haram menurut hukum agama. Sangat mengutamakan ibadah tanpa mau tahu keadaan dan kesengsaraan yang menimpa lingkungan sekitarnya. Pendidikan agama juga cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif atau pada hal-hal yang menekankan kemampuan intelektual atau hanya sekedar menyentuh ranah afektif (emosional). Akibatnya peserta didik di negeri ini memiliki pengetahuan, kesadaran yang tercipta karena memiliki pengetahuan intelektual dan memiliki keinginan untuk berbuat oleh adanya dorongan emosional tetapi tidak benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata akibat pendidikan agama yang tidak menyentuh ranah psikomotorik. Secara kenyataan, banyak di antara penganut agama senang mendengar ceramah/khotbah, mengikuti kursus-kursus keagamaan, suka berdiskusi dan berdebat mengenai berbagai isu keagamaan tetapi tidak ada wujud nyata dalam kenyataan hidup sehari-hari, atau kurang memberi teladan hidup. Pendidikan agama yang baik harus menggarap tiga ranah kemanusiaan, yaitu kognitif (intelektual), afektif (emosional), dan psikomotorik atau ketrampilan (Daniel Stefanus, 2009:91-94)

Jadi, pendidikan Agama Kristen harus meliputi tiga ranah dalam diri peserta didik yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain pendidikan Kristen tidak hanya menekankan satu sisi dalam tiga domain.
Pendidikan Agama sebagaimana yang dimaksud di atas, khususnya di sekolah dianggap tidak berhasil meningkatkan etika dan moralitas peserta didik, atau dengan kata lain pendidikan agama di sekolah belum terlalu signifikan mempengaruhi karakter siswa di sekolah.
Akibatnya pendidikan agama di sekolah hanya mampu menghasilkan siswa mendapat nilai bagus dalam ujian. Pendidikan agama di sekolah tidak mampu mempengaruhi perbaikan moral.

Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan manusia. Karena dari pendidikan tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan atau informasi, tetapi sebagai proses transfer dan pembentukan karakter dan kerohanian manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan itu memiliki kegunaan yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu Nicholas P. mengatakan bahwa : “Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan”. (Nicholas, P. 2007:4). Ini berarti manusia membutuhkan informasi, perkembangan kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai maksud itu maka pendidikan merupakan pilihannya. Sebab tanpa pendidikan mustahil manusia mengalami perkembangan hidup ke arah yang lebih baik.

Menyadari bahwa pendidikan itu penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia dalam dunia ini. Kebutuhan akan sarana-sarana penunjang di bidang pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting dan untuk itu maka sarana-sarana penunjang tersebut harus menjadi prioritas. Salah satu sarana untuk memperoleh pendidikan adalah sekolah. Di sekolah guru sebagai pemegang peran membawa pencerahan bagi peserta didik dan peserta didik sebagai objek mendapat nilai tinggi di masyarakat.

Seorang Guru dalam memberi teladan dapat melaksanakannya melalui pendidikan dan pengajaran agama Kristen secara serempak sehingga berdampak bagi pembentukan karakter peserta didik. Guru harus menunjukkan keteladanan itu. Keteladanan Guru begitu penting, hal ini menegaskan bahwa seorang yang menyandang predikat Guru selalu dituntut suatu pola hidup yang berhubungan dengan cara hidup dan pertanggungjawaban moral yang berkaitan dengan teladan hidup, tuntutan kesucian, dan kebijakan dalam kenyataan hidup setiap hari. Salah satu pertanggungjawaban moral seorang Guru Pendidikan Agama Kristen kesediaan memberi keteladanan hidup kepada siswanya. Keteladanan Guru memiliki pengaruh yang tidak terbatas, berpengaruh bagi siswa dan juga masyarakat umum. Akan kebenaran ini, Isjoni menyatakan: “Seorang yang berstatus guru tidak selamanya menjaga wibawa dan citra sebagai guru secara baik di mata peserta didik dan masyarakat. Media massa cetak maupun elektronik sering memberitakan tentang berbagai kasus tindakan asusila, asosial, dan amoral yang dilakukan oleh oknum guru” (Isjoni, 2007:60).

Keburukan karakteristik guru sebagaimana yang dimaksud dalam kutipan di atas pastilah menodai dunia pendidikan. Oleh karena itu maka guru termasuk guru terus berjuang dalam pengajaran dan pendidikan atau memberi ilmu pengetahuan agama dan mendidik yaitu memberi teladan akan apa yang telah diajarkan. Dua hal di atas yaitu pengajaran dan pendidikan mesti dilakukan oleh guru. Akan kebenaran dalam hal mengajar dan mendidik yang dilakukan guru, Plueddemann menyatakan: “Guru Pendidikan Agama Kristen mengajar dengan dua cara melalui perkataan dan melalui kehidupan”. (Kure, S. & Plueddemann, J., 1997:60). Melalui perkataan yaitu memberi pengajaran dan melalui kehidupan yaitu keteladanan.

Jadi, Guru diharapkan untuk tidak hanya mampu menyampaikan konsep-konsep atau teori-teori sebatas pengetahuan, tetapi lebih dari pada itu harus mampu menerapkannya atau melaksnanakannya dalam kehidupan atau tingkah lakunya. Kekuatan dari pengajaran dan pendidikan atau perkataan dan keteladanan nampak dalam pendapat.

Jika seorang mengajarkan sesuatu tetapi tidak dilakukannya, peserta didik tidak akan belajar dengan sungguh-sungguh. Oleh karena tanpa keteladanan dari guru peserta didik akan kecewa, kehilangan figur atau peserta didik akan melakukan bukan apa yang diajarkan, tetapi apa yang dilakukan oleh guru, sebab peserta didik merupakan peniru yang ulung (Kure, S. & Plueddemann, J., 1997:8)

Dalam praktiknya, sering terjadi bahwa sebahagian guru menjalankan tugasnya hanya sebatas profesi dan kurang didukung dengan keteladanan yang menjadi panutan bagi siswa. Dengan kata lain kurang ada tanggung jawab moral untuk mengaktualisasikan pengajarannya dalam kehidupan nyata seorang guru. Ini berarti seorang guru semestinya bukan hanya sebatas memberikan teori tetapi juga melaksanakan teori yang diajarkannya. Teori yang disampaikan adalah berhubungan dengan pendidikan Kristen yang bersumber dari Alkitab maka penting untuk diterapkan sehingga memberi pengaruh pada pembentukan karakter siswa.

E. Mulyasa walaupun bukan guru pendidikan Kristen tetapi memberi suatu kebenaran pernyataan tentang keteladanan dengan menyatakan: “Seorang guru ketika harus mengajarkan kebenaran, maka terlebih dahulu ia mesti menjadi teladan bagi peserta didik. Keteladanan guru merupakan sifat dasar kegiatan pembelajaran dan ketika guru tidak mau menerima atau menggunakannya secara konstruktif, maka akan mengurangi keefektifan pembelajaran” (E. Mulyasa, 2005:46).

Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas maka penulis merumuskan judul penelitian: Pengaruh efektivitas Pendidikan Agama Kristen terhadap Pembentukan Karakter di Masyarakat

B. Fokus Penelitian

1. Kurangnya perhatian yang serius dari pelaku pendidikan Kristen akan efektifitas Pendidikan Agama Kristen
2. Urgennya upaya penangan penyimpangan karakter di Masyarakat melalui Pendidikan Agama Kristen

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka pembahasan ini dibatasi pada:
1. Efektivitas Pendidikan Agama Kristen
2. Penyimpangan karakter di masyarakat

D. Perumusan Masalah

1. Sejauh mana efektivitas Pendidikan Agama Kristen
2. Cara apa yang efektif untuk pembentukan karakter di masyarakat.

E. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan memiliki tujuan. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun tujuan penelitian ini yaitu menjelaskan tentang efektivitas Pendidikan Agama Kristen terhadap Pembentukan karakter di masyarakat.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a) Melalui penelitian ini, peneliti makin dapat mendalami bagaimana Pengaruh efektivitas Pendidikan Agama Kristen terhadap Pembentukan karakter di masyarakat. Pemahaman ini tentu memperkaya pengetahuan peneliti.
b) Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa yang meneliti berikutnya khususnya yang berhubungan dengan efektivitas PAK dan Pembentukan karakter di masyarakat
c) Sebagai sumbangsih bahan literature kepustakaan diperpustakaan Sekolah Tinggi ...., terutama yang membahas tentang efektivitas PAK terhadap Penyimpangan karakter di masyarakat

2. Secara Praktis

a) Dengan menggumuli karya tulis ini, peneliti dapat memahami mengenai makna efektivitas PAK dan Penyimpangan karakter di masyarakat. Dengan demikian, peneliti dapat belajar untuk mempraktekkannya ditengah-tengah pelayanan dan masyarakat b) Dari hasil penelitian ini, dapat menolong para pembaca secara khusus mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia ...... untuk mendalami efektivitas PAK dan Penyimpangan karakter di masyarakat.