Kesehatan Tubuh dalam Perspektif Teologis


Bagaimana Kesehatan Tubuh dalam Perspektif Teologis, khususnya Perspektif Teologis Kristen? Artikel berikut ini membahas kesehatan tubuh sebagai bagian dari tanggungjawab memelihara bait Allah: "TUBUH adalah BAIT Allah. Ikuti dalam uraian berikut ini.

Tubuh ini adalah bait Allah. Oleh karena itu perlu dipelihara secara baik dan bertanggungjawab. Penulis Kitab Kejadian menyaksikan bahwa Allah menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Allah (Kej. 1:26). Namun ada perbedaan antara Allah dan manusia. Allah itu Roh,sementara manusia memiliki tubuh. Tubuh manusia rentang terhadap sakit penyakit. Oleh karena itu maka Allah melengkapi tubuh manusia dengan kemampuan berpikir agar manusia mampu mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya, khususnya pemeliharaan tubuh agar tetap sehat. Binatang tidak membutuhkan rumah, tetapi manusia membutuhkan rumah. Binatang tidak perlu memasak air untuk diminum, tetapi manusia perlu memasak air untuk diminum. Dalam konteks ini, nampak bahwa daya tahan tubuh manusia berbeda dengan daya tahan tubuh binatang. Bila manusia meminum air seperti binatang meminum air maka jelas manusia terkena berbagai penyakit.
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas menolong orang percaya dalam usaha memikirkan secara teologis dalam perspektif iman Kristen tentang kesehatan tubuh Kesehatan tubuh dapat dipikirkan secara mendalam dalam berbagai disiplin keilmuan. Misalnya kesehatan tubuh ditinjau dari filsafat, kesehatan tubuh ditinjau dari biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, etika dan teologi, dan lain-lain. Jadi, jelas bahwa salah satu realitas dapat ditinjau atau dipikirkan secara mendalam dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian ini, penulis meninjau kesehatan tubuh dari sisi etis-teologis”. Dari namanya menjadi jelas bahwa ada penggabungan dua disiplin keilmuan, yaitu etika dan teologi dalam meninjau kesehatan tubuh. Kata is dalam kedua frasa yaitu etis dan teologis hendak menyatakan sifat dari tinjauan itu, yaitu tinjauan yang sifatnya berdimensi etika (benar-salah = norma), dan berdimensi nalar yang berhubungan dengan Tuhan. Artinya kesehatan tubuh dipikirkan secara mendalam dalam kerangka benar-salah/baik-buruk tindakan/praktik kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan dari relasi logi tinjauan yang berlangsung dalam kontrol firman Tuhan sebagaimana yang disaksikan dalam Alkitab.
Berdasarkan menjadi alat yang berguna bagi kebutuhan hidup. Setiap orang menghendaki agar tubuhnya sehat. Untuk mencapai maksud ini, berbagai upaya dilakukan untuk tetap menjaga agar tubuh tetap sehat.tubuh yang sehat memerlukan usaha Untuk menjaga tubuh yang sehat maka ada berbagai upaya yang dilakukan Kesehatan tubuh dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang keilmuan, namun dalam penelitian ini kesehatan tubuh hanya ditinjau secara etis-teologis.
Berdasarkan maksud di atas maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan tinajauan etis-teologis terhadap kesehatan tubuh adalah sejumlah hasil berpikir ilmiah (kebenaran rasional dan kebenaran empiris) terhadap kesehatan tubuh yang bersifat etis-teologis dalam komunitas Kristen yang didasarkan pada Alkitab. Operasional dari definisi ini yakni tinjauan etis-teologis yang dimaksud disini yakni apakah kesehatan tubuh itu sesuatu yang benar atau salah bila diperhatikan dan dilakukan oleh komunitas Kristen. Bila kesehatan tubuh adalah hal yang benar maka apa normanya, sebaliknya bila kesehatan tubuh itu salah atau tidak perlu dipikirkan maka apa normanya?.

Pemikiran teologis tentang kesehatan tubuh tentu didasarkan pada kesaksian Alkitab. Kesaksian Alkitab memang harus ditafsir. Untuk itulah perlu menggunakan pandangan para pakar atau teolog tentang perihal menjaga pola makan dengan memilah serta memilih makanan yang benar-benar berguna bagi kesehatan tubuh kita merupakan sebuah keharusan moral yang memiliki fondasi teologis.
Beberapa ahli percaya bahwa pengendalian diri dalam hal memilih dan mengkonsumsi makanan-makanan yang berguna bagi kesehatan merupakan sebuah moral imperative (keharusan moral) yang memiliki fondasi teologis. Ada ahli seperti Williamson percaya bahwa keharusan etis untuk menjaga pola makan yang sehat didasarkan atas doa untuk kesehatan tubuh. Doa bagi kesehatan tubuh harus diikuti dengan tanggung jawab orang percaya untuk menjaga kesehatan tubuhnya, salah satunya adalah dengan cara menjaga pola makan yang sehat. Paradigma bahwa orang Kristen adalah orang yang diberkati, kaya, berkelimpahan dan tidak kurang sesuatu apapun ditambah dengan iman Kristen bahwa Tuhan Yesus sanggup menyembuhkan segala penyakit membuat banyak orang Kristen hidup secara tidak bertanggungjawab. Banyak orang Kristen menyantap segala makanan dengan interpretasi bahwa semua makanan adalah berkat yang berasal dari Allah. Memang segala sesuatu diperbolehkan untuk dimakan tetapi tidak semuanya berguna. Makanan untuk perut. Tetapi tidak semua makanan layak untuk perut. Artinya orang Kristen harus memperhatikan secara teliti apa yang masuk ke dalam tubuh.
Pandangan yang jauh lebih kuat menegaskan aspek teologis dari hukum-hukum mengenai makanan dalam Alkitab adalah pandangan Advent Hari Ketujuh. Seorang teolog Advent, Jiri Moskala, mengemukakan tipikal pandangan ini dalam sebuah artikel berjudul: “The Validity of the Levitical Food Laws of Clean and Unclean Animals: A Case Study of Biblical Hermeneutics.” Menurut Moskala, hukum-hukum mengenai makanan seperti yang terdapat dalam Kitab Imamat, tidak pernah dianulir validitasnya di dalam PB. Menurutnya, bukan hanya tidak membatalkan validitas hukum-hukum tersebut, melainkan juga tidak pernah memakan makanan-makanan yang ditetapkan tidak tahir dalam PL. Bahkan, karya penebusan Kristus yang menggenapi hukum-hukum dalam PL tidak berkaitan dengan hukum-hukum mengenai makanan. Bagian-bagian PB seperti: Markus 7:19b; Matius 15:11, 17-20; dan Kisah 10, tidak dilihat oleh Moskala sebagai dasar pembatalan hukum-hukum mengenai makanan dalam PL. Bagian-bagian ini hanya dimaksukan untuk melawan penyalahgunaan hukum-hukum tersebut, bukan pembatalan terhadap hukum-hukum tersebut.
Sampai di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam konteks jaman itu, Allah memelihara kekudusan umat-Nya sebagai refleksi dari kekudusan-Nya sendiri dengan menetapkan hukum mengenai tahir dan tidak tahir berkenaan dengan binatang-binatang tertentu sekaligus untuk membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain. Allah adalah standar ultimat bagi pendefinisian diri Israel baik sebagai bangsa maupun sebagai umat religius. Motif seperti ini, terlihat jelas dalam kehidupan Daniel seperti yang akan diulas di bawah ini.
Dalam Daniel 1:8. Daniel adalah salah seorang tawanan yang dibawa dari Yerusalem ke Babilonia ketika raja Nebukadnezar menaklukkan Yerusalem. Sebagai seorang keturunan bangsawan (Dan. 1:3), kecakapan dan perawakan Daniel memikat hati raja Nebukadnezar sehingga ia diperbolehkan untuk melayani raja. Dalam Daniel 1:8, tercatat: “Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasanya diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tiak usah menajiskan dirinya.”
Ketetapan hati Daniel di atas dan permintaannya ditanggapi demikian oleh pegawai istana tersebut: “Aku takut, kalau-kalau tuanku raja, yang telah menetapkan makanan dan minumanmu, berpendapat bahwa kamu kelihatan kurang sehat dari pada orang-orang muda lain yang sebaya dengan kamu, sehingga karena kamu aku dianggap bersalah oleh raja” (1:10). Daniel kemudian menawarkan agar ia dan teman-temannya (bnd. 1:6, 11) hanya memakan sayuran selama tiga puluh hari, namun mereka tetap kelihatan lebih gemuk dari semua orang muda yang memakan santapan raja (1:12-15).
Lontaran-lontaran di atas tidak mengindikasikan bahwa perihal mereka memakan sayuran saja yang membuat mereka sehat dan kelihatan lebih gemuk dari orang-orang lainnya yang memakan santapan raja. Daniel 1:8 jelas memberikan indikasi bahwa Tuhan memelihara kesehatan mereka karena komitmen mereka untuk tidak menajiskan diri mereka dengan santapan sang raja. Pertanyaannya adalah apakah alasan Daniel menganggap bahwa santapan sang raja itu najis sehingga ia harus menahan diri untuk tidak mencicipinya?
Memang kita telah membahas tentang Imamat 11 dan Ulangan 14 di atas yang membuka peluang untuk mempertimbangkan kemungkinan akan alasan mengenai makanan haram di atas. Juga, dalam tradisi Yahudi, telah menjadi konsensus untuk tidak mencicipi makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala (bnd. 4Mak. 5:2-3;; bnd. 1Kor. 8:1-13). Bagi penulis, penolakan itu harus dipahami berdasarkan konsep makanan dalam konteks kovenan dalam kebudayaan pada masa itu. Pada masa itu, mencicipi hidangan yang sama berarti seseorang mengikatkan dirinya kepada pihak-pihak yang dengannya ia menyantap bersama (Kej. 31:54; Kel. 24:11; Neh. 8:9-12; bnd. Mat. 26:26-28). Dalam kategori ini, menyantap makanan raja berarti orang-orang yang berada di bawah otoritas raja itu harus menundukkan diri mereka secara mutlak kepada raja. Itulah sebabnya, Baldwin menyatakan bahwa kenajisan yang dihindari Daniel dan kawan-kawannya tidak berkaitan dengan aturan atau ritual tertentu mengenai makanan, tetapi lebih kepada keterhisaban kovenan ke dalam otoritas mutlak raja.

Semoga berguna

Previous Post
Next Post
Related Posts