Contoh Bab I Masalah Penelitian dan Kajian Teori



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Guru Pendidikan Agama Kristen melakukan pelayanan Pendidikan Agama Kristen kepada peserta didik Kristen termasuk peserta didik yang memiliki gangguan komunikasi seperti anak penyandang autis. Anak penyandang autis memiliki gangguan komunikasi. Menurut Yatim, dalam penggolongan anak autis, dibagi dalam tiga bagian, yaitu kelompok anak autis yang menyendiri, kelompok anak autis yang pasif dan kelompok anak autis yang aktif. Anak-anak dari kelompok anak autis yang menyendiri biasanya jarang menggunakan kata-kata dan hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana. Sementara kelompok kedua adalah kelompok anak autis yang pasif, yang mempunyai ciri-ciri seperti memiliki pembendaharaan kata yang lebih banyak meskipun masih mengalami keterlambatan untuk bisa berbicara dibandingkan anak lain yang sebaya. Kelompok ketiga yaitu kelompok anak autis yang aktif. Anak-anak dari kelompok ini bertolak belakang dengan anak-anak dari kelompok autis yang menyendiri karena bisa lebih cepat berbicara dan memiliki pembendaharaan kata paling banyak. Meskipun anak-anak ini sudah bisa merangkai kata dengan baik, namun terkadang masih terselip kata-kata yang tidak bisa dimengerti.

Salah satu masalah utama dalam melaksanakan pendidikan Agama Kristen bagi anak autis adalah kesulitan komunikasi dalam diri anak penyandang autis, komunikasi menjadi sesuatu yang sangat sulit. Anak penyandang autis mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, sedangkan bahasa merupakan hal utama dalam komunikasi antara guru dan murid. Menurut Handojo, bila perkembangan bahasa mengalami hambatan, maka kemampuan komunikasi akan terhambat. Kemungkinan munculnya hambatan dapat disebabkan karena anak yang menjadi komunikator merupakan anak dengan kebutuhan khusus, yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya seperti kemampuan berbicara.

Masalah lain yaitu anak autis akan mengalami penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Msalah lain dari anak autis sebagaimana disampaikan Soekanto, yakni anak penyandang autis biasanya mengalami gangguan dalam bidang kognitif, afektif, dan sosial. Hal ini nampak dalam keterbatasan penyandang autis dalam beraktivitas, sering mengulang-ulang gerakan yang sama dan mengalami gangguan komunikasi dalam berhubungan dengan orang lain, meskipun secara fisik terlihat sehat.

Anak yang menderita autis mengalami lima gangguan yaitu dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (verbal dan non verbal), perilaku, emosi, dan gangguan sensoris serta mengalami perkembangan yang terlambat. Gejala ini mulai tampak sejak masih kecil dan biasanya sebelum anak berusia tiga tahun. Anak-anak yang menderita autis mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap ransangan-rangsangan dari kelima panca indranya, meliputi indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra perasa dan indra peraba.

Anak-anak yang menderita autis sangat beragam, baik kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi maupun perilakunya. Anak autis mengalami berbagai keterbatasan dan karakteristik yang dimiliki, maka anak-anak autis melakukan proses komunikasi yang berbeda dengan proses komunikasi yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Komunikan yang dalam hal ini adalah siswa penyandang autis, memiliki kemampuan komunikasi yang terbatas dibandingkan siswa lain pada umumnya.
Siswa yang menderita autis dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak mampu berbicara dan berkomunikasi secara non verbal, memiliki perilaku menyakiti diri sendiri serta menunjukkan terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan, diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara bagi siswa yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan berbicara secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas. Oleh karena itu penyandang autis mempunyai cara tersendiri dalam berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya karena mengalami kesulitan dalam berpikir, mengingat dan menggunakan bahasa.

Keluarga Kristen sama dengan keluarga non Kristen, ada pula yang memiliki anak yang dikategorikan dalam penyandang autis. Artinya adanya anak yang menyandang autis tidak hanya di masyarakat non Kristen tetapi juga dalam beberapa keluarga Kristen. Menghadapi kenyataan seperti itu maka Pendidikan Agama Kristen yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Kristen juga perlu dilaksanakan bagi anak penyandang autis. Sering gangguan autis pada anak membuat panik orang tua, karena anak dengan gangguan ini sulit dan tidak dapat diajak berkomunikasi. Anak-anak dengan gangguan ini memiliki kehidupan sendiri yang terbentuk dari fantasinya. Tingkah laku anak yang seperti ini memerlukan pola asuh yang tepat dari lingkungan sekitarnya, khususnya dari orang tua yang diharapkan mampu membantu anak keluar dari belenggu gangguan autis ini.

Dalam menolong anak-anak penyandang autis, pemerintah melaksanakan sekolah khusus atau sekolah luar biasa bagi anak yang mengalami gangguan seperti autis. Sekolah khusus yang didirikan dengan tujuan tujuan agar dapat mengubah perilaku anak yang tidak mau peduli dengan keadaan sekelilingnya sehingga mampu berinteraksi dengan baik dalam lingkungan pertumbuhannya. Namun,alangkah lebih baik lagi jika terapi yang didapat oleh anak dari sekolah yang dikhususkan bagi mereka yang mengidap gangguan autis ini diiringi dengan pola asuh yang tepat dari orang tuanya. Perlu dipahami bahwa autis terjadi karena mekanisme yang mengontrol emosi tidak berfungsi dengan baik yang mengakibatkan tubuh dan pikiran yang relatif normal tidak mampu mengungkapkan kemampuan diri secara layak. Penyebabnya diperkirakan karena sebelum seorang anak autistic dilahirkan, anak autis menolak pesan-pesan yang dikirimkan ibunya karena pesan-pesan itu membuatnya kewalahan dan menyakitkan. Sehingga anak tersebut tidak terbiasa menyalurkan kemampuan verbalnya secara terarah karena pengetahuan verbal yang dimilikinya terbatas. Berdasarkan masalah di atas maka penulis merumuskan judul penelitian menjadi Peran Guru Agama Kristen dalam Pelayanan Pendidikan Agama Kristen terhadap Anak Penyandang Autis.

BAB II
KAJIAN SINGKAT TENTANG AUTIS

A. Landasan Teori Autis

1. Pengertian Autis

Apapun yang dikerjakan harus memahami terlebih dahulu. Jika tidak demikian maka apa yang dikerjakan tidak terarah secara baik. Dalam konteks membangun pengertian Autis, perlu dicari pengertian tentang pengertian Autis sehingga menjadi relevan dengan Pelayanan Pendidikan Agama Kristen yang diberikan kepada peserta didik yang menyandang autis. Pemahaman tentang Autis tentu akan lebih terarah bila memahami apa sesungguhnya autis itu. Dalam hal ini, pelaku Pendidikan Agama Kristen mesti membangun pemahaman tentang pengertian autis. Dalam literatur pendidikan autis, kata autism yang berasal dari kata auto diberi arti sendiri. Pengertian ini membawa suatu pemahaman untuk memahami bahwa penyandang autis seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Autis diartikan suatu gangguan perkembangan yang meliputi kesulitan komunkasi, perilaku dan kemampuan berinteraksi. Menurut Budiman, autis adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya kerusakan syaraf yang mengakibatkan adanya gangguan perkembangan komunikasi, perilaku kemampuan sosial dan belajar.

Jadi, autis adalah suatu keadaan jiwa dimana yang menyandang autis merasa hidup di dunianya sendiri. Autis dikategorikan dalam gangguan perkembangan. Dikatakan demikian karena fungsi psikologis anak yang menyandang autis terganggu. Gangguan itu berupa distorsi atau penyimpangan dalam perkembangan anak.
Selanjutnya pembaca memeriksa kajian litertaur tentang pengertian Autus

3. Ciri-Ciri Autis

Mengenal seorang anak yang mengalami autis. Dengan pengenalan demikian, anak penyandang autis dapat secara dini ditangani sehingga mengalami perubahandalam dirinya. Ciri-ciri umum autis dapat dipaparkan sebagai berikut:

3.1. Gangguan Kemampuan Sosial Untuk mengetahui seorang anak mengalami autisme maka dapat dikenal melalui cirri-ciri seperti gangguan kemampuan social. Kemampuan social ini akan nampak dalam hal ketika anak penyandang autis berinteraksi berbeda dengan orang pada umumnya. Pada gejala awal atau gejala ringan, tanda yang muncul dalam diri anak adalah ia tampak canggung saat berhubungan dengan orang lain. Anak penyandang autis akan mengeluarkan komentar yang menyinggung orang lain. Anak autis tampak terasing saat berkumpul bersama orang lain.

Jadi, pada anak-anak, gejala autis berupa gangguan kemampuan sosial ini dapat terlihat dari ketidak tertarikannya pada permainan bersama serta sulit berbagi dan bermain secara bergantian dengan anak-anak yang lain.

3.2. Kesulitan Berempati

Ciri kedua dari anak autis yakni anak autis sangat sulit memahami perasaan orang lain. Akibatnya mereka jarang berempati terhadap orang lain. Anak penyandang autis juga sulit mengenali dan memahami bahasa tubuh atau intonasi bicara. Saat anak autus berbicara dengan orang lain, komunikasi cenderung bersifat satu arah karena anak penyandang autis lebih banyak membicarakan dirinya sendiri. Namun mereka juga memiliki kemampuan berempati dalam diri seorang anak autis. Kemampuan ini dapat dilatih dan meningkat jika mereka rutin diingatkan untuk belajar mempertimbangkan perasaan orang lain.

3.3.Tidak Suka Kontak Fisik

Ciri yang ketiga, seorang anak autis tidak menyukai jika mereka disentuh atau dipeluk. Namun, tidak semua menunjukkan gejala yang sama. Sebagian anak dengan autisme sering dan senang memeluk mereka yang dekat dengannya. Tindakan ini tentu berbeda dengan anak pada umumnya. Anak pada umumnya suka disentuh atau dipeluk orang lain tetapi tidak demikian dengan anak autis.

3.4.Tidak Suka Suara Keras, Beberapa Aroma, dan Cahaya Terang

Ciri yang keempat, yaitu anak penderita autisme umumnya merasa terganggu dengan suara keras yang mengagetkan, perubahan kondisi cahaya, dan perubahan suhu yang mendadak. Anak autis akan merasa terganggu bila terjadi perubahan mendadak, sehingga mereka tidak bisa mempersiapkan diri terlebih dahulu. Anak autis sensitive terhadap stimuli panca indera, seperti: cahaya, suara, bau, dan rasa. Ciri yang lain, yaitu anak autis sulit memproses dan memberi reaksi pada indrawi, mdah terganggu dengan situasi umum seperti tangisan bayi, mesin mobil, serangga, mesin printer. Dari berbagai gangguan di atas, mengakibatkan penyandang autis tidak mampu mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Anak penyandang autis adalah suatu kondisi yang dialami anak sejak lahir atau saat dibawah usia lima tahun, yang membuat seseorang tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi normal. Beberapa informasi menyatakan bahwa meski tidak dapat disembuhkan, rehabilitasi dan pendidikan yang intensif dan ekstensif dapat mengurangi gejala autis.
3.5. Gangguan Bicara atau komunikasi.

Anak yang menyandang autis memiliki gangguan berbicara. Hasil riset menunjukkan bahwa 40% dari anak-anak dengan autisme tidak dapat berbicara atau hanya dapat mengucapkan beberapa kata saja. Sekitar 25-30% dapat mengucapkan beberapa kata pada usia 12-18 bulan, namun sesudahnya kehilangan kemampuan berbicara. Sedangkan sisanya baru dapat berbicara setelah agak besar. Menurut Safaria, anak dengan gangguan autis memperlihatkan perilaku kurang respon terhadap orang lain, mengalami masalah yang berat dalam hal berkomunikasi yang berkembang pada usia 30 bulan pertama. Gangguan ini disebut dengan autism infantile atau anak dengan gangguan autis. Gangguan ini oleh Yustinus disebut sebagau gangguan anak autus dalam kemampuan berkomunikasi dan berhubungan secara emosional dengan orang lain.

3.6.Suka Tindakan Berulang

Anak autis menyukai hal yang sudah pasti sehingga mereka menikmati melakukan rutinitas yang sama terus menerus. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa anak autis sering melakukan tindakan yang berulang-ulang. Anak autis akan merasa terganggu bila terjadi perubahan rutinitas sehari-hari. Tindakan yang berulang pada anak autis dapat.

4.Urgensi Pelayanan Anak Penyandang Autis

Anak-anak dengan kebutuhan khusus statistiknya relatif tinggi, yaitu pada angka 2 sampai 5 kasus per 10.000 anak (0,02 – 0,05 persen) di bawah usia 12 tahun. Fakta ini mendorong pentingnya pelayanan terhadap anak-anak autis, khususnya pelayanan Pendidikan Agama Kristen.

Previous Post
Next Post
Related Posts