BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang memerlukan kesehatan tubuh. Dengan tubuh yang sehat, seseorang akan berkarya secara maksimal. Namun kesehatan tubuh tidak terbentuk secara otomatis dalam diri seseorang. Banyak faktor penyebab kesehatan tubuh, sebaliknya banyak faktor penyebab gangguan kesehatan tubuh. Untuk mewujudkan kesehatan tubuh, seseorang memerlukan biaya, bilu tubuh sakit tentu membutuhkan pengeluaran, mulai dari pengeluaran yang relatif kecil sampai kepada nominal yang relatif besar. Demikian pula tubuh yang sehat juga memerlukan biaya. Namun yang menjadi fokus pembahasan yaitu kesehatan tubuh. Fokus ini menunjukkan bahwa kesehatan itu demikian penting. Untuk itulah setiap orang berusaha memelihara tubuh agar tetap sehat. Bila kesehatan seseorang terganggu maka aktivitas dan relasi seseorang secara personal dan sosial akan terganggu, gangguan demikian akan berdampak buruk bagi pembangunan sosial ekonomi.
Di atas telah dinyatakan bahwa kesehatan tubuh dalam kehidupan seseorang sangat penting. Namun masalah yang terjadi yakni masih ada sejumlah orang yang menganggap remeh masalah kesehatan. Sikap ini nampak dalam pola makan yang tidak memenuhi kaidah kesehatan. Sering seseorang diperbudak oleh hawa nafsu, terutama dalam hal makanan. Makanan dan minuman yang merusak atau mendatangkan gangguan kesehatan seperti: makan coklat, minum kopi, teh. Makanan dan minuman ini telah terbukti secara ilmiah bahwa makanan dan minuman seperti ini tidak berguna bagi kesehatan hidup manusia. Orang minum kopi hanya untuk kepuasan keinginan saja, padahal kopi berbahaya bagi kehidupan manusia (Elizabeth Subrata: 2008). Fakta empiris menunjukkan bahwa beberapa minuman dan makanan mempengaruhi kesehatan, seperti kopi. Minum kopi bagi sebagian orang dianggap membayakan kesehatan, sementara yang lain menyatakan sebaliknya. walaupun minum kopi berbahaya bagi manusia, khususnya mereka yang memiliki tekanan darah tinggi tetapi kopi tetap diminati oleh manusia. Yang sama berlaku juga untuk rokok. Isap rokok berbahaya bagi kesehatan tetpi orang tetap isap rokok.
Dalam hubungan dengan makanan, ada pula makanan tertentu yang berbahaya bagi manusia tetapi tetap saja dikonsumsi. Misalnya makanan yang diberi Bahan Tambahan Pangan (BTP) atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Persoalan lain yang muncil yakni pengawasan yang longgar dari regulator mendorong sejumlah industri makanan menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan. Padahal bahan tambahan tersebut sangat mempengaruhi kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kesehatan itu sendiri memiliki konsekuensi yang besar dalam kehidupan manusia. Rex Russell menyatakan bahwa yang dinikmati oleh keluarga ikut membentuk apa yang dimakan oleh seseorang. Itula sebabnya orang Kristen perlu bertindak bijaksana dalam mengelola makanan dan mengkonsumsinya. Dikatakan demikian karena Rex Russell menyatakan bahwa yang dinikmati oleh keluarga ikut membentuk apa yang dimakan oleh seseorang.
Realitas bahwa makanan sangat krusial dalam kehidupan manusia dan merupakan faktor dominan dalam menentukan kesehatan seseorang, termasuk kesehatan orang Kristen. Orang Kristen diharapkan berlaku bijaksana dalam mengolah makanan dan mengkonsumsinya karena makanan yang dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Rex Russell mengatakan bahwa yang dinikmati oleh keluarga ikut membentuk apa yang dimakan oleh seseorang.( Rex Russell, 2006), 58. Selain keluarga, program-program yang diusung pemerintah ikut juga membentuk paradigma tentang makanan seseorang, seperti program makan daging untuk meningkatkan protein bagi tubuh maupun program-program lainnya. Bahkan gereja ikut juga membentuk paradigma seseorang tentang makanan. Gereja-gereja tertentu melarang memakan makanan yang dianggap haram. Sementara ada gereja yang tidak mempermasalahan soal halal dan haram suatu makanan.
Perspektif bahwa orang Kristen adalah orang yang diberkati, kaya, berkelimpahan dan tidak kurang sesuatu apapun ditambah dengan iman Kristen bahwa Tuhan Yesus sanggup menyembuhkan segala penyakit membuat banyak orang Kristen hidup secara tidak bertanggungjawab. Dikatakan demikian karena sebagian orang Kristen memakan segala makanan dengan pemahaman bahwa bahwa semua makanan adalah berkat Allah. Memang benar bahwa segala sesuatu diperbolehkan untuk dimakan tetapi tidak semua yang dimakan itu memberi fungsi kesehatan bagi tubuh manusia. Dalam hal ini berlaku kebenaran: makanan diperuntukan bagi tubuh, tetapi tidak semua makanan layak untuk dikonsumsi tubuh. Artinya orang Kristen harus memperhatikan secara teliti apa yang masuk ke dalam tubuh.
Berdasarkan apa yang disampaikan di atas, maka masalah penelitian ini yaitu sebagian orang kristen tidak terlalu peduli terhadap makanan yang dikonsumsinya, sementara yang lain memperhatikan makanan yang membuat sehat tubuh. Dalam ilmu umum, ada makanan yang disebut “makanan kematian”. Makanan ini meningkatkan risiko penyakit degeneratif, seperti diabetes, penyakit jantung, arthritis, dan menimbulkan kelebihan berat badan (Don Colbert : 2009, 1). Jadi, apakah orang Kristen harus menjauhi makanan yang tidak sehat agar selamat (Kis. 15:29)?
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan di bagian latar belakang, muncul sejumlah pertanyaan yang sangat mendasar sehubungan dengan variabel penelitian makanan kesehatan. Beberapa identifikasi yang dikemukan disini yaitu:
1. Orang Kristen memakan makanan didasarkan pada keinginan bukan kebutuhan.
2. Orang Kristen hidup kurang bertanggungjawab dalam pola makan yang sehat.
3. Ada paradigma yang menyatakan bahwa Allah telah memperingatkan umat-Nya tentang makanan yang sehat jauh sebelum berkembangnya dunia kedokteran modern.
4. upaya preventif dalam Alkitab tentang kesehatan kurang mendapat perhatian secara personal maupun dalam pelayanan pengajaran gereja.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian ini dibatasi pada:
1. Menganalisis pandangan teologis tentang makana sehat dari perspektif Teologis Kristen
2. Menganalisis pandangan teologis tentang kesehatan khususnya makanan yang sehat menurut pandangan Alkitab.
D. Perumusan Masalah
Bagaimana Tinjauan Teologis Reform Terhadap Kesehatan Tubuh
E. Manfaat Penulisan
Beberapa manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan ini yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangsih pemikiran kepada setiap orang Kristen tentang makanan yang menyehatkan dari sudut pandang etis teologis.
2. Manfaat Praktis
Adapun beberapa manfaat praktis dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Membantu setiap orang Kristen untuk mengetahui makanan yang layak dan tidak layak konsumsi dalam rangka meningkatkan kesehatan.
2. Memberikan pandangan kepada setiap orang Kristen dan gereja bahwa makanan sangat berkorelasi dengan pelayanan pekerjaan Tuhan di muka bumi.
3. Menambah literatur kepustakaan di Sekolah Tinggi Teologia dalam berteologia tentang makanan yang menyehatkan.
BAB II
LANDASAN TEORITIS-TEOLOGIS
A. Tinjauan Teologis Terhadap Kesehatan Tubuh
Allah menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Allah (Kej. 1:26). Namun ada perbedaan antara Allah dan manusia. Allah itu Roh,sementara manusia memiliki tubuh. Tubuh manusia rentan terhadap sakit penyakit. Oleh karena itu maka Allah melengkapi manusia dengan kemampuan berpikir agar manusia mampu mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya, khususnya pemeliharaan tubuh agar tetap sehat. Hewan tidak membutuhkan rumah, akan tetapi manusia membutuhkan. Hewan tidak perlu memasak air untuk diminum, tetapi manusia perlu memasak air untuk diminum. Dalam konteks ini, nampak bahwa daya tahan tubuh manusia berbeda dengan daya tahan tubuh hewan. Bila manusia meminum air seperti apa yang diminum hewan maka manusia akan terkontaminasi berbagai penyakit.
Paparan di atas menjadi pengantar untuk memikirkan secara mendalam salah satu realitas kehidupan manusia yaitu kesehatan tubuh. Kesehatan tubuh dapat dipikirkan secara mendalam dalam berbagai disiplin keilmuan. Misalnya kesehatan tubuh ditinjau dari filsafat, kesehatan tubuh ditinjau dari biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, etika dan teologi, dan lain-lain. Jadi salah satu realitas dapat ditinjau atau dipikirkan secara mendalam dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian ini, penulis meninjau kesehatan tubuh dari sisi etis-teologis”. Terdapat penggabungan dari dua disiplin ilmu, yaitu etika dan teologi dalam meninjau kesehatan tubuh. Kata “is” dalam kedua frasa yaitu etis dan teologis hendak menyatakan sifat dari tinjauan itu, yaitu tinjauan yang sifatnya berdimensi etika (benar-salah = norma), dan berdimensi logis (nalar) yang berhubungan dengan Tuhan. Artinya kesehatan tubuh dipikirkan secara mendalam dalam kerangka benar-salah/baik-buruk tindakan dan praktik kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan dari relasi logika dalam kontrol Firman Tuhan sebagaimana yang disaksikan dalam Alkitab.
Setiap orang menghendaki agar tubuhnya tetap sehat, untuk mencapai maksud tersebut manusia melakukan berbagai upaya. Kesehatan tubuh dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang keilmuan, dalam penelitian ini kesehatan tubuh hanya ditinjau secara etis-teologis. Tinjauan etis-teologis terhadap kesehatan tubuh adalah sejumlah hasil berpikir ilmiah (kebenaran rasional dan kebenaran empiris) terhadap kesehatan tubuh yang bersifat etis-teologis dalam komunitas Kristen yang didasarkan pada Alkitab. Operasional dari definisi ini adalah apakah kesehatan tubuh itu sesuatu yang benar atau salah bila diperhatikan dan dilakukan oleh komunitas Kristen. Bila kesehatan tubuh adalah hal yang benar maka apa normanya, sebaliknya bila kesehatan tubuh itu salah atau tidak perlu dipikirkan maka apa normanya?.
Pokok lain yang perlu diartikan disini yakni kesehatan tubuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesehatan diartikan keadaan seluruh badan serta bagian-bagiannya bebas dari sakit. Kesehatan juga dapat diartikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua aspek. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan, dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan.
B. Tinjauan Teologis Terhadap Makanan Sehat
Beberapa makanan dan minuman yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan seperti: makanan coklat, kopi, teh dan sebagainya yang sebenarnya secara ilmiah telah dibuktikan bahwa makanan dan minuman ini tidak berguna karena hanya untuk kepuasan keinginan saja: bahan-bahan ini bisa membahayakan tubuh kita karena sifat adiktif (ketagihan) yang ditimbulkan. Ini disebut makanan kematian.
Fakta di atas memperhadapkan kita dengan isu teologis yaitu apakah perihal menjaga pola makanan, khususnya memilah dan memilih makanan yang benar-benar berguna bagi kesehatan tubuh merupakan sebuah moral imperative (keharusan moral) yang memiliki landasan teologis atau tidak?
Jadi, pertanyaan spesifik lainnya yang menggelitik adalah apakah kelalaian untuk menjaga pola makan yang sehat, merupakan dosa atau tidak? Pertanyaan ini menjadi sangat penting karena kita mendapati di dalam Alkitab sejumlah bagian yang mengatur secara eksplisit mengenai makanan yang tahir dan tidak tahir: Imamat 11:2-23, 41-45 dan Ulangan 14:3-20.
Dalam menjawab pertanyaan penting di atas, penulis akan menelusuri data dari Alkitab yang relevan dengan isu ini, khususnya bagian-bagian yang berbicara mengenai makanan dan minuman. Di sini penulis akan menggunakan pendekatan teologi biblika, yaitu menelusuri semua data yang relevan dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, sambil mengkonsultasikan hasil penelusuran tersebut dengan sejumlah doktrin yang relevan untuk membuat kesimpulan teologis-etis mengenai isu ini. Sebelumnya, penulis akan memulai ulasan ini dengan mencermati pandangan sejumlah pakar yang percaya bahwa perihal menjaga pola makan dengan memilah serta memilih makanan yang benar-benar berguna bagi kesehatan tubuh merupakan sebuah keharusan moral yang memiliki fondasi teologis.
1. Keharusan Moral
Beberapa ahli percaya bahwa pengendalian diri dalam hal memilih dan mengkonsumsi makanan yang berguna bagi kesehatan tubuh merupakan sebuah moral imperative (keharusan moral) yang memiliki fondasi teologis. Menurut Jim Williamson (2011): “Hal yang menarik perhatian saya adalah bahwa banyak orang Kristen yang lebih tertarik untuk mendiskusikan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang merugikan tubuh kita tanpa menyinggung soal diet dan latihan defisiensi. Isu-isu semisal keburukan alkohol, tembaukau, obat-obatan didiskusikan secara bebas di dalam banyak Gereja Kristen; tetapi, bahaya makanan – dan akibatnya bagi masalah kesehatan – sering tidak didiskusikan sama sekali...”
Jadi, Williamson percaya bahwa keharusan etis untuk menjaga pola makan yang sehat didasarkan atas doa untuk kesehatan tubuh. Doa bagi kesehatan tubuh harus diikuti dengan tanggung jawab orang percaya untuk menjaga kesehatan tubuhnya, yaitu dengan cara menjaga pola makan yang sehat.
Paradigma bahwa orang Kristen adalah orang yang diberkati, kaya, berkelimpahan dan tidak kurang sesuatu apapun ditambah dengan iman Kristen bahwa Tuhan Yesus sanggup menyembuhkan segala penyakit membuat banyak orang Kristen hidup secara tidak bertanggungjawab. Banyak orang Kristen menyantap segala makanan dengan interpretasi bahwa semua makanan adalah berkat yang berasal dari Allah. Memang segala sesuatu diperbolehkan untuk dimakan tetapi tidak semuanya berguna. Makanan untuk perut. Tetapi tidak semua makanan layak untuk perut. Artinya orang Kristen harus memperhatikan secara teliti apa yang masuk ke dalam tubuh.
Menurut Don Colbert (2002) menyatakan bahwa: “keharusan untuk menjaga pola makan yang sehat berkaitan langsung dengan peneladanan terhadap Yesus sendiri. Apa argumentasi Colbert? Arguementasinya yaitu orang percaya berupaya meneladani Yesus dalam setiap area kehidupannya. Yesus menghendaki kesehatan tubuh dalam diri setiap orang. Kesehatan tubuh dapat meliputi: pikiran, dan roh.
Jadi, peneladanan terhadap Yesus yang dimaksudkan Colbert adalah menyelidiki makanan apa saja yang dimakan oleh Yesus (atau yang mungkin dimakan oleh Yesus), lalu menjadikannya menu konsumsi bagi orang percaya pada masa sekarang. Yesus mengajar tentang pola makan yang sehat, menurut Colbert, yaitu dengan gaya hidup-Nya. Jika orang percaya menjadi vegetarian maka hidup mereka akan lebih lama. Hal ini dapat diperhatikan dalam beberapa tokoh Alkitab seperti: Metusalah, Yared, dll., mereka hidup sangat lama. Namun setelah Air Bah, Tuhan membolehkan manusia untuk makan daging. Hanya saja, tidak semua jenis daging bermanfaat bagi kesehatan orang percaya. Dan apa yang pernah atau mungkin pernah dimakan oleh Yesus merupakan petunjuk untuk makanan yang sehat bagi orang percaya.
Aspek teologis dari hukum-hukum mengenai makanan dalam Alkitab adalah pandangan dari gereja tertentu yang menyatakan bahwa hukum-hukum mengenai makanan seperti yang terdapat dalam Kitab Imamat, tidak pernah dianulir validitasnya di dalam PB. Menurutnya, bukan hanya tidak membatalkan validitas hukum-hukum tersebut, melainkan juga tidak pernah memakan makanan-makanan yang ditetapkan tidak tahir dalam PL. Bahkan, karya penebusan Kristus yang menggenapi hukum-hukum dalam PL tidak berkaitan dengan hukum-hukum mengenai makanan.
Sering juga terjadi bahwa pandangan teologis seseorang mengabaikan apa yang ada dalam Markus 7:19b; Matius 15:11, 17-20; dan Kisah 10. Ayat-ayat ini tidak dilihat oleh penganut pandangan teologi tertentu, khususnya mengenai makanan sebagai ayat-ayat tentang dasar pembatalan hukum-hukum mengenai makanan dalam PL. Bagian-bagian ini hanya dimaksukan untuk melawan penyalahgunaan hukum-hukum tersebut, bukan pembatalan terhadap hukum-hukum tersebut.
2. Perjanjian Lama
Dalam bagian ini penulis akan menjelaskan secara eksegetis tentang Imamat 11 dan Ulangan 14:3-20 sambil mempertimbangkan hubungannya dengan Kejadian 1-2. Selain itu, penulis akan memberi perhatian juga terhadap Daniel 1:8 dimana tampaknya Daniel secara ketat menjauhkan dirinya dari makanan tertentu.
Untuk memahami fungsi Imamat 11, kita harus mengingat bahwa Kitab Imamat mengusung tema utama yaitu kekudusan Allah sebagai dasar dari kekudusan umat-Nya. Hukum-hukum di dalam kitab ini, seperti yang dikemukakan Christopher Wright, yaitu “ringkasan alkitabiah mengenai esensi Allah sendiri.” Tema mengenai kekudusan sangat kuat ditekankan dalam Imamat 11.
Jadi, alasan utama bagi ketaatan terhadap hukum-hukum ini adalah kekudusan (Kel. 22:30; Im. 11:44-45; 20:22-26; Ul. 14:21). Perhatian terhadap makanan yang tahir merupakan bagian esensial dari respons Israel terhadap kekudusan Allah.
Imamat 11 dan Ulangan 14 memuat instruksi-instruksi spesifik mengenai makanan-makanan yang tahir dan tidak tahir untuk dikonsumsi Israel. Selian itu, teks ini merupakan teks utama yang memuat hukum tahir dan tidak tahir dalam hal makanan walau pembedaan seperti ini telah dikenal juga dalam teks-teks lain (Kej. 7:2; 8:20; 15:9). Sementara itu, dalam bagian-bagian PL lainnya, hukum mengenai makanan yang tahir dan tidak tahir diasumsikan (Hak. 14:4, 7, 14; Yes. 65:4; 66:17; Yeh. 4:13, 14; 33:25; Hos. 9:3-4).
Menurut K.Chan, dalam konteks Ancient Near East, larangan untuk memakan makanan tertentu dikenal juga di Mesir, Babilonia dan Siria. Namun, dalam konteks Israel, larangan-larangan ini memainkan peranan yang sangat penting. W. Houston menyatakan, Hukum-hukum mengenai makanan menempati posisi sentral dalam pemahaman diri Yudaisme sepanjang sejarah. Orang-orang Yahudi mengekspresikan kesetiaan mereka kepada Allah melalui ketaatan terhadap hukum-hukum ini, bersama dengan hukum mengenai sunat dan Sabath, yang melaluinya membuat mereka sekaligus mengekspresikan identitas mereka sebagai orang-orang Yahudi yang membedakan mereka dari bangsa-bangsa sekitar mereka. Mereka menolak asimiliasi, dan melaluinya mereka menghidupi kesetiaan kepada Allah yang telah memanggil mereka untuk menjadi “umat kepunyaan-Nya di antara segala bangsa di muka bumi.”
Ulangan 11 dapat dibagi menjadi enam bagian yang setiap bagiannya diawali dengan kata “ini” (tazOÝ;2:2, 9, 29, 46) atau “hal-hal ini” (hL,ae’; 2:13, 24). Keenam bagian ini dapat diringkas menjadi dua kategori utama, yaitu hukum mengenai binatang-binatang yang tahir dan tidak tahir (11:1-23) dan hukum mengenai polusi atau kontaminasi (11:24-47). Persoalannya adalah teks ini tidak memberitahu kita mengenai atas kriteria apa binatang-binatang ini dikategorikan tahir dan tidak tahir. Itulah sebabnya, dalam sejarah eksegesis terhadap hukum-hukum ini, kita mendapati sejumlah usulan pandangan mengenai kriteria penentuan tahir dan tidak tahir terhadap binatang-binatang yang disebutkan dalam teks ini.
Pertama, kriteria simbolik. Menurut pandangan ini, pembedaan tahir dan tidak tahir terhadap binatang-binatang tersebut dimaksudkan untuk merepresentasikan sesuatu yang lain. Misalnya, menurut Philo, binatang-binatang memamah biak menyimbolkan kontemplasi dan refleksi, sedangkan binatang-binatang berkuku belah merupakan simbol dari hikmat untuk membedakan segala sesuatu. Pandangan ini didasarkan atas penafsiran alegoris yang dapat kita temukan juga dalam beberapa tafsiran modern. Mis. A. Bonar,1978:202-207). Pandangan ini tidak mendapat dukungan sama sekali dari teks ini.
Kedua, kriteria etis. Menurut pandangan ini, pembagian tahir dan tidak tahir tersebut dimaksudkan agar mengurangi jumlah binatang yang dibunuh demi kebutuhan makanan Israel. Dengan cara ini, Tuhan memelihara keberlangsungan hidup satwa-satwa tersebut. Pandangan ini diadopsi oleh Jacob Milgrom. Namun sama seperti pandangan sebelumnya, Imamat 11 dan Ulangan 14 tidak mengindikasikan pandangan ini sama sekali.
Ketiga, kriteria aestetik. Menurut pandangan ini, pembedaan antara binatang yang tahir dan tidak tahir dilakukan berdasarkan penampilan binatang-binatang tersebut. Binatang-binatang yang dikategorikan tahir adalah binatang-binatang yang penampilannya relatif bersih dan indah, sementara binatang-binatang yang dikategorikan tidak tahir adalah binatang-binatang yang penampilannya kotor atau menjijikan (W. Eichrodt,1961:12). Pandangan ini sepenuhnya subjektif.
Keempat, kriteria higienis atau kriteria kesehatan. Menurut pandangan ini, pembagian binatang yang tahir dan tidak tahir dimaksudkan Allah untuk menjaga Israel dari penyakit-penyakit tertentu. Binatang-binatang yang tidak tahir itu berbahaya bagi kesehatan. Pandangan ini kelihatannya didukung oleh janji Allah bahwa “Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau” (Kel. 15:26).
Pandangan di atas meskipun dianut oleh banyak kaum Injili, namun kekuatannya terletak atas kontinuitas hukum-hukum ini dalam PB. Jika dapat dibuktikan bahwa PB menganulir hukum-hukum ini, maka pandangan ini menjadi sangat problematik.
Dan kelima, kriteria teologis. Menurut pandangan ini, binatang-binatang yang dikategorikan tidak tahir adalah binatang-binatang yang memiliki signifikansi penting dalam ritual agama-agama pagan (Gerhard von Rad, 1962). Dengan mendeklarasikan bahwa binatang-binatang ini tidak tahir, Allah secara tidak langsung sedang menolak agama-agama pagan. Itulah sebabnya, ketaatan terhadap hukum-hukum ini juga dianggap sebagai bagian penting dari pihak Israel untuk membedakan diri mereka dari orang-orang kafir. Pandangan ini kelihatannya memiliki kekuatan eksplanatoris dalam hal menjelaskan berbagai bagian PL yang menegaskan agar Israel memisahkan diri mereka dari kekafiran bangsa-bangsa di sekitar mereka. Namun, kesulitan utama dari pandangan ini adalah ada binatang tertentu yang memainkan peranan penting dalam penyembahan agama Kanaan dan Mesir misalnya sapi jantan, namun PL justru memperbolehkannya sebagai binatang tahir untuk dipersembahkan dan juga untuk dimakan.( G.J. Wenham, 1981:7)
Sampai di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai usulan pandangan di atas meskipun memiliki kekuatan-kekuatan tertentu, namun tidak definitif karena kita tidak mendapatkan indikasi implisit maupun eksplisit dari Imamat 11 dan Ulangan 14 mengenai kriteria pengategorian tahir dan tidak tahir.
Penentuan tersebut dilakukan oleh Allah atas alasan yang tidak disingkapkan bagi kita, maka segala usulan pandangan di atas harus dianggap sekadar sebagai dugaan-dugaan. Yang pasti, hukum-hukum ini memang dimaksudkan agar membuat Israel menjadi bangsa yang kudus sebagaimana Allah yang mereka sembah adalah Allah yang kudus (D. Firmage, 1990:185).
Pertanyaan penting lainnya adalah apakah binatang-binatang yang dikategorikan tahir dan tidak tahir itu memang pada dirinya sendiri tahir dan tidak tahir? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat merujuk kepada Kejadian 1-2. Dalam Kejadian 1, sangat jelas dinyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah dipandang baik adanya. Kemudian, dalam Kejadian 2, Allah memberikan larangan mengenai makanan, yaitu “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej. 2:16-17). Tidak ada indikasi bahwa buah dari pohon yang dilarang itu pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang jahat, sebab kita sudah mendapatkan penegasan dari Kejadian 1 bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah baik adanya. Tampaknya, pohon ini menjadi terlarang semata-mata karena Allah memang mendeklarasikannya demikian untuk tujuan tertentu, misalnya untuk menguji ketaatan manusia di taman Eden. Dengan analogi seperti ini, kita mendapatkan sedikit gambaran mengenai penentuan hukum tahir dan tidak tahir berkenaan dengan binatang-binatang dalam Imamat 11 dan Ulangan 14. Binatang-binatang itu dideklarasikan tahir dan tidak tahir maka jadilah mereka demikian bagi Israel. Allah adalah standar ultimat bagi penentuan ini dan kepada kita tidak diberitahu alasan spesifiknya.
Sampai di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam konteks jaman itu, Allah memelihara kekudusan umat-Nya sebagai refleksi dari kekudusan-Nya sendiri dengan menetapkan hukum mengenai tahir dan tidak tahir berkenaan dengan binatang-binatang tertentu sekaligus untuk membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain. Allah adalah standar ultimat bagi pendefinisian diri Israel baik sebagai bangsa maupun sebagai umat religius. Motif seperti ini, terlihat jelas dalam kehidupan Daniel seperti yang akan diulas di bawah ini.
2.1. Daniel 1:8
Daniel adalah salah seorang tawanan yang dibawa dari Yerusalem ke Babilonia ketika raja Nebukadnezar menaklukkan Yerusalem. Sebagai seorang keturunan bangsawan (Dan. 1:3), kecakapan dan perawakan Daniel memikat hati raja Nebukadnezar sehingga ia diperbolehkan untuk melayani raja. Dalam Daniel 1:8, tercatat:
Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasanya diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tiak usah menajiskan dirinya.
Ketetapan hati Daniel di atas dan permintaannya ditanggapi demikian oleh pegawai istana tersebut: “Aku takut, kalau-kalau tuanku raja, yang telah menetapkan makanan dan minumanmu, berpendapat bahwa kamu kelihatan kurang sehat dari pada orang-orang muda lain yang sebaya dengan kamu, sehingga karena kamu aku dianggap bersalah oleh raja” (1:10). Daniel kemudian menawarkan agar ia dan teman-temannya (bnd. 1:6, 11) hanya memakan sayuran selama tiga puluh hari, namun mereka tetap kelihatan lebih gemuk dari semua orang muda yang memakan santapan raja (1:12-15).
Lontaran-lontaran di atas tidak mengindikasikan bahwa perihal mereka memakan sayuran saja yang membuat mereka sehat dan kelihatan lebih gemuk dari orang-orang lainnya yang memakan santapan raja. Daniel 1:8 jelas memberikan indikasi bahwa Tuhan memelihara kesehatan mereka karena komitmen mereka untuk tidak menajiskan diri mereka dengan santapan sang raja. Pertanyaannya adalah apakah alasan Daniel menganggap bahwa santapan sang raja itu najis sehingga ia harus menahan diri untuk tidak mencicipinya? Dugaan yang paling umum dikemukakan untuk menjawab pertanyaan ini secara tipikal dikemukakan oleh Leon J. Wood, yakni: Episode pertama menyangkut ujian yang dihadapi Daniel dan ketiga kawannya ketika mereka baru saja tiba di Babilonia.
Memang kita telah membahas tentang Imamat 11 dan Ulangan 14 di atas yang membuka peluang untuk mempertimbangkan kemungkinan akan alasan mengenai makanan haram di atas. Juga, dalam tradisi Yahudi, telah menjadi konsensus untuk tidak mencicipi makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala (bnd. 4Mak. 5:2-3; m.Abod.Zar. 2:3; Abot 3:3; bnd. 1Kor. 8:1-13). Persoalannya adalah bahwa orang-orang Babilonia mempersembahkan semua jenis makanan mereka kepada para dewa mereka.
Bagi penulis, penolakan itu harus dipahami berdasarkan konsep makanan dalam konteks kovenan dalam kebudayaan pada masa itu. Pada masa itu, mencicipi hidangan yang sama berarti seseorang mengikatkan dirinya kepada pihak-pihak yang dengannya ia menyantap bersama (Kej. 31:54; Kel. 24:11; Neh. 8:9-12; bnd. Mat. 26:26-28). Dalam kategori ini, menyantap makanan raja berarti orang-orang yang berada di bawah otoritas raja itu harus menundukkan diri mereka secara mutlak kepada raja.
Dalam terang argumentasi di atas, kontinuitas Daniel 1:8-15 dengan Imamat 11 dan Ulangan 14 bukan pada aspek hukum dan ritualnya, melainkan konsep utamanya yaitu Allah sebagai standar ultimat yang mendefinisikan identitas diri umat-Nya dan yang menuntut kesetiaan tertinggi mereka kepada-Nya serta secara implikasi, menuntut mereka memisahkan diri dari agama-agama pagan. Agama pagan di Babel yang menyatu dengan otoritas raja, membuat Daniel dan kawan-kawannya harus bersikap tegas karena dalam konteks itu, mereka hanya berhadapan dengan dua pilihan: tunduk mutlak kepada raja yang berarti pemberontakan terhadap Tuhan atau taat kepada Tuhan yang berarti menolak untuk memasuki relasi kovenan dengan raja yang secara simbolik diperhadapkan kepada mereka melalui santapan raja.
3. Perjanjian Baru
Di sini penulis akan membahas tentang beberapa bagian dari Kitab-kitab Injil, Kisah Para Rasul, dan surat-surat Paulus yang relevan dengan isu ini. Diskusi yang lebih luas dapat menyangkut status Taurat secara keseluruhan dalam PB, namun di sini penulis sekadar mengkhususkan pembahasan ini pada aspek validitas hukum-hukum mengenai makanan dalam PL serta bagaimana Yesus dan para penulis PB memandang validitasnya.
3.1. Kitab-kitab Injil
Markus 7:19b “Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal,” merupakan teks fundamental yang mengakhiri validitas hukum-hukum mengenai makanan yang sudah kita bahas sebelumnya dalam PL. Memang mereka yang membela kontinuasi validitas hukum-hukum tersebut memberikan penafsiran alternatif. Misalnya, Moskala berargumentasi bahwa dalam konteks ini Yesus sedang melawan penyalahgunaan (misuse) hukum-hukum mengenai makanan oleh tradisi Yahudi, bukan melawan hukum-hukum itu sendiri.
Penafsiran alternatif di atas hanya memiliki kekuatan persuasif jika dalam polemik Yesus dan orang-orang Yahudi tersebut, Yesus semata-mata memberikan jawaban-jawaban yang persis menjawab tuduhan orang-orang Yahudi tanpa menambahkan unsur baru apa pun. Persoalannya adalah dalam konteks Markus 7:1-23, Yesus bukan hanya menjawab tudingan orang-orang Yahudi terhadap para murid dan diri-Nya, melainkan juga sekaligus mengemukakan ajaran-Nya sendiri mengenai teologi makanan.
Yesus melihat bahwa yang menjadi taruhan dalam polemik itu bukanlah reputasi para murid dan diri-Nya, melainkan orang-orang banyak itu. Orang-orang banyak itu harus dilindungi dari penekanan akan tradisi nenek moyang yang kehilangan esensi spiritualitasnya. Kemudian Ia mulai mendeklarasikan pengajaran-Nya: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah” (ay. 14b). Seruan ini merupakan himbauan bagi mereka untuk mendengarkan ajaran Yesus sendiri: “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (ay. 15). Perhatikan bahwa yang dibicarakan Yesus di sini bukan lagi soal mencuci tangan, melainkan makanan yang masuk ke dalam tubuh seseorang. Di sini Yesus tidak lagi mendefinisikan kenajisan berdasarkan hukum mengenai makanan dalam PL. Bagi Yesus, makanan itu tidak menajiskan bukan karena dijadikan halal di dalam tubuh, melainkan bahwa memang semua makanan itu pada dasarnya halal. Dan ini adalah unsur baru di dalam konteks polemik di atas yang berkenaan dengan perihal mencuci tangan sebelum makan. Yesus justru mendefinisikan kenajisan dengan merujuk kepada kondisi hati manusia yang menjadi sumber sikap-sikap serta perbuatan-perbuatan najis (ay. 18-23; bnd. Rm. 1-2).
Dalam bagian paralelnya, Matius menulis: “Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang” (15:20). Klausa terakhir ini kelihatan bagi para pengusung kontinuasi validitas hukum-hukum makanan dalam PL sebagai petunjuk bahwa Matius berupaya mencegah gagasan bahwa Yesus membatalkan hukum-hukum tersebut. Pandangan ini gagal dalam mempertimbangkan bahwa konteksnya tetap mendukung gagasan pembatalan tersebut yaitu ketika Matius mencatat pendefinisian Yesus mengenai hal najis dan tidak najis (15:11, 17-19).
Dalam konteks di atas, tidak munculnya kata avkaqartoj (“haram”, “najis”) menjadi tidak penting karena di dalam ajaran-Nya sendiri, Yesus jelas berbicara mengenai makanan (bukan lagi soal mencuci tangan). Dan menurut Yesus, semua makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak menajiskan yang implikasinya adalah semua makanan halal seperti yang diklarifikasi oleh Markus.
3.2. Kisah Para Rasul
Kisah 10:6-16, Petrus mendapatkan visi mengenai makanan yang tidak tahir yang mungkin bercampur dengan makanan yang tahir. Menurut Moskala, ini berarti bahwa gagasan utama dari visi ini adalah bahwa bercampurnya makanan tahir dan tidak tahir tidak membuat makanan tahir menjadi tidak tahir. Dan Petrus tetap dapat memakan makanan tahir yang dihidangkan dalam visi tersebut.
Jadi, menurut Moskala, yang dinyatakan halal dalam teks ini bukanlah makanan-makanan haram itu, melainkan polusi akibat pembauran antara makanan tahir dan tidak tahir.
Tafsiran di atas lemah dalam beberapa aspek pengamatan ini. Teks di atas tidak menyatakan bahwa Petrus dapat tetap memakan makanan yang tahir meski pun makanan tersebut berbaur dengan makanan yang tidak tahir. Petrus menolak untuk memakan makanan tersebut. Dan latar belakangnya adalah bahwa orang-orang Yahudi tidak bergaul dengan orang-orang non Yahudi karena bagi mereka orang-orang non Yahudi itu tidak tahir dan mereka tidak termasuk sebagai umat Allah (Kel. 19:5; 23:22; Ul. 7:6; 14:2). Jadi, gagasan mengenai polusi karena asosiasi memang ada dalam teks ini, konsep polusi ini dibangun karena memang subject matter-nya sendiri (orang-orang non Yahudi) dianggap kafir dan najis. Pandangan Moskala akan menjadikan teks ini tidak masuk akal seakan-akan orang-orang non Yahudi itu tetap tidak tahir dan walau tetap tidak tahir namun orang-orang Yahudi itu dapat berbaur dengan mereka tanpa perlu risau akan persoalan ketahiran. Yang dinyatakan dalam teks ini adalah orang-orang non Yahudi itu dinyatakan tahir, dan ini dilambangkan dengan makanan-makanan yang tidak tahir kemudian dinyatakan tahir oleh Allah: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (10:15).
Memang dalam sidang di Yerusalem (Kis. 15), keputusannya masih mempertimbangkan beberapa aturan PL mengenai makanan: makanan yang dipersembahkan kepada berhala, darah, daging binatang yang mati dicekik (ay. 29). Tetapi ini adalah hikmat dari Roh Kudus (ay. 28) dalam konteks waktu itu karena nanti di surat-suratnya, Paulus tidak lagi membahas isu ini dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang mengikat.
3.3. Surat-surat Paulus
Dalam surat Roma, Paulus menegaskan bahwa kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (14:17). Dalam hubungan dengan makanan, Paulus menyatakan: “segala sesuatu suci” (14:20). Bagi Paulus, jemaat tidak perlu lagi mengikatkan diri dengan berbagai aturan mengenai makanan tetapi mereka harus berhati-hati agar tidak merusak pekerjaan Allah karena makanan yaitu ketika sikap mereka menjadikan orang lain tersandung (14:20).
Pokok masalah yang sama juga dihadapi oleh Paulus dalam jemaat Korintus. Mereka mempersoalkan tentang makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Dalam konteks ini, Paulus menyatakan “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah” (1Kor. 8:8a). Tetapi, karena ada orang-orang tertentu yang masih mengikatkan hati nurani mereka kepada larangan akan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, maka Paulus menasihatkan mereka agar “…kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan…” (8:9). Dengan demikian, sekali lagi, Paulus membahas isu ini dalam konteks kebebasan Kristen yang bertanggung jawab: “Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan” (8:8b).
Dalam konteks 1 Korintus 8-10, jelas bahwa Paulus melawan penyembahan berhala sebagai dosa yang membinasakan Israel (ps. 10). Tetapi, Paulus tidak melihat bahwa makanan yang dipersembahkan kepada berhala itu merupakan sesuatu yang najis. Argumen ini hanya dapat dipahami jika kita mengamati klaim mendasar Paulus dalam Roma 14 di atas dewa-dewa itu pada dasarnya tidak pernah ada – dewa-dewa itu hanya ada di dalam pikiran dan keyakinan orang-orang yang menyembahnya. Bagaimana mungkin makanan dapat dinajiskan oleh sesuatu yang tidak ada? Meski demikian, Paulus tetap membatasi mereka untuk tidak menggunakan kebebasan Kristen itu secara kebablasan.
Teks lain yang perlu diperhatikan adalah Efesus 2:11-22. Dalam teks ini, Paulus berbicara tentang kesatuan jemaat yang terdiri atas orang-orang non Yahudi dan orang-orang Yahudi. Mereka hidup dalam kesatuan dengan status kewargaan yang sama yaitu sebagai orang-orang kudus (2:19). Dasar dari kesatuan tersebut adalah karya penebusan Kristus. Karya penebusan Kristus menyatukan mereka sebagai jemaat kepunyaan Allah karena karya tersebut juga sekaligus menyingkirkan penghalang kesatuan tersebut yaitu Taurat (2:15). Menurut Paulus Kristus “telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya.” Pernyataan ini problematis karena dalam surat-surat yang lain, Paulus tetap menegaskan validitas hukum-hukum moral dalam PL (Rm. 13:8-10; 1Kor. 5:13; 9:8-9; 10:1-22; 14:33b-34; Gal. 5:14). Bahkan dalam Roma 3:31, Paulus menyatakan, “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.”
Problem di atas ditafsirkan oleh mayoritas penafsir Injili, mengikuti Calvin, bahwa yang dimaksudkan di sini adalah hukum-hukum serimonial dalam PL, bukan keseluruhan hukum Taurat itu sendiri. Herman Ridderbos mengikuti tafsiran ini ketika ia menyatakan, “Kita juga jangan mengabaikan fakta bahwa saat Paulus berkata bahwa Yesus membatalkan Taurat, yang ia maksudkan bukan Taurat dalam pengertian lebih luas, tetapi Taurat ‘dengan segala perintah dan ketentuannya’ (Ef. 2:15).” Namun frasa dalam teks ini akan lebih kuat apabila ditafsirkan sebagai ungkapan yang merujuk kepada keseluruhan hukum Taurat (Thielman). Itulah sebabnya, Thielman menyatakan bahwa teks ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa Taurat itu sama sekali tidak berlaku lagi bagi orang-orang Kristen. Yang dimaksudkan Paulus di sini adalah bahwa segala aturan-aturan etis dari Taurat yang mereka taati itu bukan lagi merupakan ketaatan terhadap Taurat sebagai kovenan lama bagi Israel, melainkan sebagai hukum dalam kovenan baru di dalam Kristus.
Kolose 2:16-23 mengusung gagasan yang sama seperti teks-teks di atas. Dalam teks ini Paulus melawan tendensi asketis, yaitu sikap mengebiri diri dari makanan-makanan tertentu dalam rangka mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi (Thomas R. Schreiner, 2008). Bagi Paulus, asketisme merupakan sesuatu yang sia-sia karena semua hukum mengenai makanan dan minuman termasuk juga aturan-aturan lainnya (2:16), merupakan bayangan dari karya Kristus (2:17).
F. Karya Penebusan Kristus dan Hukum-hukum PL mengenai Makanan
Menurut para pengusung kontinuasi validitas hukum-hukum mengenai makanan dalam PL bagi orang-orang Kristen, hukum-hukum ini tidak digenapi secara spesifik dalam karya pengorbanan Kristus. Karena itu, validitasnya tetap terpelihara bagi kita sekalian. Bahkan seorang pakar PB, Thomas R. Schreiener pun merasa kesulitan untuk merujuk kepada peristiwa speifik dari karya pengorbanan Kristus yang merupakan penggenapan dari hukum-hukum tersebut, meski ia yakin bahwa hukum-hukum ini tidak lagi mengikat.
Kita mungkin tidak dapat berbicara mengenai penggenapan secara langsung akan hukum-hukum mengenai makanan dalam PL. Tetapi, dalam kerangka besar rencana Allah untuk membentuk suatu umat kepunyaan yang mencakup segala bangsa, kita tidak dapat melihat bahwa tujuan ini digenapi melui Kristus. Hukum-hukum mengenai makanan dalam PL merupakan ekspresi dari sebuah pemisahan umat tertentu, yang dalam kovenan lama adalah Israel, sebagai umat Allah. Tetapi, ekspresi dalam kovenan lama ini menjadi invalid ketika Kristus, melalui karya penebusan-Nya, membuka pintu keselamatan bagi semua orang tanpa lagi memandang latar belakang etnis, gender, status sosial, dsb. (bnd. Gal. 3:23).
Di dalam hukum-hukum tersebut, mereka diingatkan akan kasih karunia Allah bagi Israel. Di dalam era baru ketika keselamatan telah dibuka bagi semua orang, dan Israel tidak lagi merupakan objek spesifik dari anugerah ilahi, hukum-hukum tersebut kehilangan signifikansinya. Pembedaan antara makanan yang tahir dan tidak tahir telah menjadi usang sama seperti pembedaan antara orang-orang Yahudi dan non Yahudi telah ditiadakan.
Jadi, tidak benar bahwa hukum-hukum mengenai makanan dalam PL dapat terus dipertahankan bagi orang-orang Kristen karena tidak memiliki aspek penggenapan dalam karya penebusan Kristus.