Contoh BAB III dan IV Skripsi Tesis dan Disertasi


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian jenis apapun tetap memakai metode. Artinya tidak ada penelitian tanpa menggunakan metode. Semua bentuk penelitian termasuk penelitian teologi harus ada metodenya. Metode tersebut mempengaruhi hasil yaitu pengetahuan yang benar. Dengan kata lain metode keilmuan adalah satu cara dalam memperoleh pengetahuan.( Hendrik Rawambaku, 2015:7). Demikian juga penelitian ini. Metode penelitian yang dipakai disini yakni metode penelitian teologi. Oleh karena metode penelitian yang dipakai adalah penelitian teologi maka penelitian semacam ini tidak dapat dipisahkan dari penelitian biblika atau penelitian yang didasarkan pada hasil-hasil penelitian biblika (Andreas B. Subagyo,2004)
Penelitian biblika sebagaimana yang dimaksud di atas dapat berupa penelitian teologi eksegesis atau tidak secara eksplisit mengandung teologi eksegesis. Penelitian teologi yang tidak secara langsung mengadakan eksegesis teks biasanya riset teologi semacam ini memusatkan perhatian pada hasil teologi yang sudah ada. Riset teologi semcam ini mengkaji tentang ide-ide teologis tentang suatu pokok.
Penggunaan metode dalam penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang judul skripsi yang telah ditetapkan sebagai variabel penelitian. Dalam hal ini pengetahuan yang benar ditentukan oleh metode yang dipakai. Metode penelitian adalah cara-cara yang dipakai dalam penelitian ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objek yang diteliti. Pengetahuan yang benar dalam penelitian ini yaitu penggunaan metode penelitian teologi untuk mendapatkan pengetahuan teologi yang benar tentang kesehatan tubuh.


B. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat yang dapat dipakai peneliti untuk mendapatkan data. Data yang dimaksud disini adalah sejumlah pengetahuan teologi tentang kesehatan tubuh. Oleh karena peneliti adalah instrumen utama dalam mendapatkan data tinjauan etis teologis tentang kesehatan tubuh maka peneliti mencari, mengumpulkan buku-buku teologi yang memberi rujukan tentang kesehatan tubuh.
Selain buku-buku teologi yang berisi pembahasan tentang kesehatan tubuh, penulis juga mendapatkan data dengan cara membaca buku-buku umum dan sumber internet tentang kesehatan tubuh. Seluruh informasi itu dikumpulkan untuk menjadi data yang akan menghasilkan informasi yaitu pengetahuan teologi yang benar tentang kesehatan tubuh.
Peneliti sebagai instrumen kunci dalam penelitian ini berusaha untuk mengadakan tinjauan yang bersifat teologis terhadap teks-teks dalam Alkitab yang berhubungan dengan kesehatan tubuh dalam korelasinya dengan makanan sehat.
Jadi, instrument utama dalam penelitian skripsi ini adalah penulis yang bertindak sebagai peneliti.

C. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini yakni hasil kajian teologis atas buku-buku teologi maupun buku-buku umum dan sumber internet yang menjelaskan tentang Tinjauan Teologis Etis Terhadap kesehatan Tubuh.
Data-data tentang tinjauan teologis etis terhadap kesehatan tubuh itu bersumber dari Alkitab. Oleh karena data-data itu diambil dari Alkitab maka data-data itu dicari maknanya dengan cara melihat komentar beberapa pakar teologi tentang kesehatan tubuh. Semua pendapat para teolog yang dituangkan dalam buku-buku kemudian dipakai oleh penulis diusahakan untuk menemukan suatu hasil yang bersifat tinjauan teologis etis tentang kesehatan tubuh.
Jadi, sumber data dalam penulisan skripsi ini yaitu ayat-ayat dalam Alkitab yang berbicara tentang kesehatan tubuh. Ayat-ayat itu ditinjau secara teologis etis tentang kesehatan tubuh dengan memakai buku-buku teologi maupun buku-buku umum. Namun sumber utamanya adalah Alkitab.
C. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dipakai yakni:

1) Mencari ayat-ayat dalam Perjanjian Lama yang berhubungan dengan kesehatan tubuh.
2) Mencari ayat-ayat Perjanjian Baru tentang kesehatan tubuh
3) Mencari buku-buku teologi yang berisi ulasan teologis tentang kesehatan tubuh
4) Mencari buku-buku umum atau informasi dari internet tentang kesehatan tubuh. Namun sumber utamanya yakni Alkitab dan buku-buku teologi.
5) Dari sumber kepustakaan

D. Tehnik Analisisa Data
Teknik analisa yang dipakai dalam penelitian ini yakni upaya menganalisis data-data yang diperoleh dari hasil tinjauan terhadap beberapa ayat Alkitab tentang Tinjauan Etis-Teologis Tentang kesehatan Tubuh. Ayat-ayat itu ditinjau secara teologis. Hasil tinjauan itu dijadikan sebagai pengetahuan yang benar tentang kesehatan tubuh.
Analisis data dalam penelitian teologi dapat juga berupa refleksi mengenai apa yang dilakukan dan seharusnya dilakukan oleh orang Kristen. Fokus penekanannya pada bagaimana iman Kristen dapat mengubah kehidupan dan situasi manusia, bukan bagaimana iman Kristen dapat memahami kehidupan. Dengan kata lain penelitian Teologi praktika merupakan refleksi bentuk pemikiran tentang kehidupan dengan maksud menjelaskan struktur dan kecenderungan pengalaman. Refleksi tersebut bersifat sementara, terbuka untuk diperbaiki, diuji dalam pengalaman. Refleksi yang dilakukan secara kritis berarti menggunakan metode ilmiah, baik kritik terhadap diri sendiri karena adanya bias-bias, asumsi-asumsi, dan kepentingan-kepentingan diri sendiri yang terus mempengaruhi persepsinya. Teologi praktika bukan hanya analitis, melainkan juga konstruktif dan evaluatif yaitu mencakup penegasan konstruktif dan pemeriksaan mengenai makna dan nilai pada peristiwa-peristiwa kemanusiaan.
Analisa data dalam penelitian teologi juga bersifat deskriptif dan normatif atau memberikan perspektif mengenai apa yang sebenarnya ada dan yang seharusnya ada. Penilaian itu dilakukan secara eksplisit sehingga terwujud dalam pedoman bagi praktik dan kecakapan untuk membentuk pribadi dan komunitas. Dalam konteks pemahaman ini, teologi bertolak dari interaksi dan pengalaman hidup yang nyata itu berakhir pada interaksi dan pengalaman hidup yang nyata.(Subagyo, 2004:154). Bagian ini akan tertuang dalam bab IV.

BAB IV
IMPLIKASI BAGI KEHIDUPAN ORANG KRISTEN

A. Membangun Pemahaman Kesehatan Tubuh

Implikasi tinjauan etis-teologis tentang kesehatan tubuh memberi beberapa implikasi. Salah satunya yaitu pemahaman tentang kesehatan tubuh. Orang Kristen harus memiliki pemahaman tentang kesehatan tubuh. Salah satunya yaitu kesehatan dalam perspektif kesehatan. Dalam perspektif medis yaitu dari dunia gizi maupun kedokteran sebagaimana yang dimuat dalam jurnal ilmu komunikasi, dinyatakan bahwa kesehatan berhubungan erat dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya. Dalam sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesaorangan dan penyakit.
Dalam pemahaman teologis, Tuhan menciptakan manusia secara sempurna. Namun hal ini tidak berarti manusia tidak mengalami sakit dan lain sebagainya. Kesempurnaan Allah berbeda dengan kesempurnaan manusia. Kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan yang ada karena diciptakan. Sementara kesempurnaan Allah bukan hasil ciptaan. Allah tidak perlu merawat tubuh karena Dia Roh adanya. Sementara manusia adalah makluk yang memiliki tubuh. Tubuh manusia memerlukan perawatan sehingga tetap sehat.
Manusia mempunyai kemampuan berpikir untuk memikirkan dan mewujudkan hal-hal yang dapat berguna bagi kesehatannya. Melalui kesehatan tubuh itu manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat bagi dirinya, sesama dan untuk karya untuk memuliakan Tuhan.
Pemahaman teologis tentang kesehatan tubuh perlu digalakkan secara baik dalam kehidupan orang Kristen. Pemahaman teologis ini sifatnya etis-teologis. Artinya memeliharan kesehatan tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang dilarang dan diperbolehkan untuk dikonsumsi orang Kristen. Pemahaman teologis tentang kesehatan tubuh tentu didasarkan pada Alkitab. Namun perlu ditegaskan bahwa Alkitab bukanlah buku kesehatan dan buku yang mengatur makanan sehat. Alkitab memberi nasehat tentang bagaimana memelihara tubuh sebagai bait Allah.
Semua orang Kristen pasti menghendaki agar tetap memiliki kesehatan tubuh. Kesehatan tubuh yaitu keadaan seluruh badan serta bagian-bagiannya bebas dari sakit atau mengalami keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang Kristen hidup produktif secara sosial, dan ekonomis.
Setiap orang Kristen menghendaki keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang Kristen hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan tubuh orang Kristen adalah kondisi umum dari kehidupan seorang Kristen dalam berbagai aspek kehidupan.
Untuk mencapai kesehatan tubuh maka setiap orang Kristen perlu memelihara kesehatan tubuh. Itulah sebabnya pemahaman tentang kesehatan tubuh, khsusunya kesehatan tubuh dari perspektif teologis harus terbentuk secara baik dalam diri setiap orang Kristen. Orang Kristen dapat melakukan kesehatan tubuh dengan cara secara dini melalui upaya penanggulangan, dan pencegahan gangguan kesehatan melalui pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan. Pemeliharaan kesehatan tubuh dimaksudkan agar tercipta suatu kehiudpan yang disebut tubuh sehata dengan indikator sehat dalam keadaan fisik, mental, dan sosial, kesejahteraan serta ketiadaan penyakit atau kelemahan dalam diri orang Kristen.

B. Pemahaman Teks dan Konteks Imamat 11

Penggalian teks tidak dilakukan secara eksegesis karena judul penelitian skripsi ini yakni tinjauan etis teologis. Tinjauan etis teologis tentang kesehatan tubuh juga tidak didasarkan atas salah satu teks dalam Alkitab. Oleh karena itu pembahasan dalam bab ini sifatnya implikasi dari pemahaman teks yang telah ditinjau secara teologis sebagaimana dalam paparan bab II. Judul skripsi tidak terfokus pada salah satu teks dengan metode eksegegesis namun bersifat tinjauan etis teologis (hasilnya di bab II). Hanya saja dalam pembahasan tentang kesehatan tubuh, salah satu faktor penting yaitu makanan maka penulis menghubungkannya dengan Imamat 11 yang membicarakan tentang makanan najis dan tidak najis. Untuk maksud ini maka dalam pembahasan bab ini penulis hanya melakukan beberapa usaha memahami teks dengan memanfaatkan tafsiran dan beberapa penjelasan singkat tentang konteks Imamat 11.
Menurut Robert M. Paterson, secara konteks kitab Imamat 11 dibagi dalam beberapa bagian yang menarasikan perihal binatang haram dan tidak haram (Im. 11:1-47). Dalam pasal ini penulis kitab Imamat membicarakan tentang kekudusan bangsa Israel. Bangsa Israel adalah bangsa yang kudus. Artinya bangsa yang sudah dipisahkan dan dikhususkan untuk Allah. Oleh karena itu maka ada perilaku yang berbeda dengan bangsa lain. Perilaku yang dimaksud yakni dalam soal makanan. Ada makanan haram dan tidak haram.
Jadi, menurut Paterson Imamat pasal 11-15 berisi ajaran tentang bagaimana cara bangsa Israel hidup sebagai umat kudus yang terpilih dan menaati firman Tuhan. Bangsa Israel harus membedakan yang najis (haram) dan yang tahir (tidak haram). Ajaran haram dan tidak haram harus diketahui oleh kaum awam dalam bangsa Israel. Pengetahuan demikian akan menolong umat Israel untuk taat pada perintah-Nya.
Hewan-hewan yang dinyatakan haram dan tidak haram dalam Imamat 11 yaitu: unta, pelanduk, kelinci, babi. Hewan-hewan ini dinyatakan haram sehingga umat Israel tidak boleh memakan daging hewan seperti unta, kelinci, pelanduk dan babi (Im. 11:4 – 8). Sedangkan hewan yang tidak haram yaitu: setiap binatang yang berkukuh belah, yaitu yang kukunya bersela panjang, dan memamah biak (Im. 11: 2-3); lembu, domba, kambing, rusa, kijang, rusa dandi, kambing hutan, kijang gunung, lembu hutan, dan domba hutan (Ul. 14: 4-5).
Hewan-hewan yang dinyatakan haram tidak boleh dimakan oleh umat Israel. Hewan-hewan ini kejijikan bagi umat Israel. Menurut Paterson, kejijikan artinya sesuatu yang harus ditolak secara tegas. Menurutnya kata kejijikan dan haram mempunyai maksud yang sama yaitu sesuatu yang harus ditolak secara tegas. Hal ini dapat dipahami karena Hukum Taurat mengadakan perbedaan yang jelas antara yang najis dan tidak najis atau antara yang kudus dan yang tidak kudus. Dalam konteks iman Kristen, aturan najis dalam teks ini secara serimonial tidak berlaku bagi orang Kristen, namun secara moral tetap berlaku tetapi ia berlangsung dalam nasehat Perjanjian Baru, yaitu orang Kristen tidak dapat menjadikan makan dan minum sebagai torat baru. Ada kebebasan orang Kristen dalam hal makan tetapi perlu memperhatikan kesehatan tubuh sebagai bait Allah. Dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini dipertegas tentang penajisan bersifat serimonial dan bukan secara moral. Selanjutnya untuk menghubungkan dengan kehidupan orang Kristen tentang hewan-hewan yang dinyatakan haram untuk dimakan dapat diperhatikan dalam dua jawaban dalam poin C dan D. Uraiannya sebagai berikut.

C. Menghargai Sikap Keharusan Moral
Pembahasan tentang implikasi untuk pokok ini yaitu ada kelompok teolog yang memahami bahwa ada keharusan moral dalam kehidupan orang Kristen dalam soal makanan yang mempengaruhi kesehatan tubuh. Dalam kajian bab II ditemukan bahwa ada pandangan teolog Kristen yang memiliki pemahaman etis-teologis tentang kesehatan tubuh sebagai sesuatu yang bersifat moral yang mengandung nilai etis teologis. Disini penulis tidak akan menyebutkan pandangan teolog tentang judul skripsi yaitu pandangan teolog tentang tinjauan etis teologis kesehatan tubuh karena hal itu sudah dilakukan dalam bab II. Uraian dalam bab ini siafatnya implikasi dari kajian bab II. Dalam kajian bab ii ditemukan bahwa ada teolog yang memahami perihal menjaga pola makanan, khususnya memilah dan memilih makanan yang benar-benar berguna bagi kesehatan tubuh orang Kristen. Memakan makanan sehat menjadi landasan keharusan moral yang memiliki landasan teologis.
Kelompok Kristen ini menyatakan oleh karena makanan sehat masuk dalam kategori keharusan moral maka ia memiliki landasan teologis yang bersifat absolut karena moral atau etika merupakan sesuatu yang absolut (mutlak). Jika bersifat keharusan moral maka makan makaanan sehat menjadi aturan yang bersifat keharusan. Dengan demikian implikasinya adalah pelanggaran terhadap aturan makan makanan yang sehat menjadi tindakan yang melanggar terhadap karakter Allah sendiri sebab dasar teologis dari etika dan moral adalah karakter Allah.
Dengan kata lain apakah kelalaian untuk menjaga pola makan yang sehat, merupakan dosa atau tidak? Pokok ini menjadi hal sangat penting untuk dicari jawaban. Memang harus diakui bahwa ada sejumlah ayat dalam Alkitab yang mengemukakan hal-hal yang secara eksplisit mengenai makanan yang tahir dan tidak tahir (Im. 11:2-23, 41-45; Ul.14:3-20). Untuk masalah ini dapat dikemukakan beberapa alasan untuk dilakukan dalam kehidupan orang Kristen. Alasan yang dimaksud yakni:
Sikap keharusan moral yaitu pengendalian diri dalam hal memilih dan mengkonsumsi makanan-makanan yang berguna bagi kesehatan merupakan sebuah moral imperative (keharusan moral) yang memiliki fondasi teologis. Jadi, menurut Williamson ada keharusan etis untuk menjaga pola makan yang sehat didasarkan atas doa untuk kesehatan tubuh. Doa bagi kesehatan tubuh harus diikuti dengan tanggung jawab orang percaya untuk menjaga kesehatan tubuhnya, salah satunya adalah dengan cara menjaga pola makan yang sehat. Paradigma bahwa orang Kristen adalah orang yang diberkati, kaya, berkelimpahan dan tidak kurang sesuatu apapun ditambah dengan iman Kristen bahwa Tuhan Yesus sanggup menyembuhkan segala penyakit membuat banyak orang Kristen hidup secara tidak bertanggungjawab.
Hal yang perlu dihindari yakni tidak wajar bila orang Kristen menyantap segala makanan dengan interpretasi bahwa semua makanan adalah berkat yang berasal dari Allah. Memang segala sesuatu diperbolehkan untuk dimakan tetapi tidak semuanya berguna. Makanan untuk perut. Tetapi tidak semua makanan layak untuk perut. Artinya orang Kristen harus memperhatikan secara teliti apa yang masuk ke dalam tubuh. Keharusan untuk menjaga pola makan yang sehat berkaitan langsung dengan peneladanan terhadap Yesus sendiri.
Orang Kristen perlu menyadari dan meneladani Yesus. Yesus peduli terhadap kesehatan orang-orang. Mukjizat-mukjizat penyembuhan-Nya juga mengarah pada peluang bagi orang yang disembuhkan secara mujizat untuk hidup dalam kesehatan tubuh. Yesus menghendaki hal itu dalam diri manusia secara keseluruhan, dan itu termasuk di dalamnya tubuh, pikiran, dan roh. Tentang makanan sehata ada beberapa contoh di dalam Alkitab mengenai praktik makan yang sehat.
Orang Kristen dapat saja mencari informasi dari Alkitab dan bukti sejarah tentang teladan Yesus dalam hal makanan sehat. Orang Kristen dapat menyelidiki makanan apa saja yang dimakan oleh Yesus (atau yang mungkin dimakan oleh Yesus), lalu menjadikannya menu konsumsi bagi orang percaya pada masa sekarang.
Orang Kristen patut mengikuti teladan Yesus. Yesus mengajar tentang pola makan yang sehat, menurut Colbert, yaitu dengan gaya hidup-Nya. Orang Kristen dapat menjadi vegetarian. Sebagaimana yang terjadi era sebelum Air Bah, orang-orang seperti Metusalah, Yared, dll., hidup sangat lama. Namun setelah Air Bah, Tuhan membolehkan manusia untuk makan daging. Hanya saja, tidak semua jenis daging bermanfaat bagi kesehatan orang percaya.

D. Menghargai Pandangan Teologis Pemenuhan oleh Kristus

Bila pada sikap kelompok Kristen yang menyatakan bahwa memilih makanan sehat adalah sikap etis-teologis sehingga menjadi keharusan moral maka sikap kelompok Kristen yang berikut ini adalah pandangan etis-teologis yang menyatakan bahwa semuanya telah digenapkan oleh dipenuhi dalam Yesus Kristus.
Kelompok Kristen ini menyatakan bahwa menjaga kesehatan tubuh dengan cara makan makanan sehat bukanlah keharusan moral. Semua itu telah digenapi dalam diri Yesus. Kelompok ini mengambil beberapa ayat dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Sikap yang dapat ditempuh orang Kristen masa kini dalam masalah menjaga kesehatan tubuh dengan memakan makanan sehat sebagaimana dihubungkan dengan Imamat 11, harus dilihat dari fungsinya. Harus diingat bahwa Kitab Imamat mengusung tema utama yaitu kekudusan Allah sebagai dasar dari kekudusan umat-Nya. Jadi, apa yang hendak disampaikan dalam kitab Imamat 11 yaitu ketaatan terhadap hukum-hukum yang menunjukkan perilaku kekudusan (Kel. 22:30; Im. 11:44-45; 20:22-26; Ul. 14:21). Dalam konteks ini, perhatian terhadap makanan yang tahir merupakan bagian esensial dari respons Israel terhadap kekudusan Allah. Memang bila diperhatikan secara cermat ada korelasi namun kekudusan dan ketahiran bukanlah dua hal yang identik: Tahir tidak selalu berarti kudus, tetapi kudus pasti selalu tahir. Itulah sebabnya, dalam kesempatan tertentu, ketika yang ditekankan adalah pertobatan dan hati yang mencari Tuhan, hukum-hukum mengenai ketahiran dapat ditangguhkan sementara (2Taw. 30:13-22).
Pendapat kelompok ini menyatakan bahwa dalam Imamat 11 dan Ulangan 14 memuat instruksi-instruksi spesifik mengenai makanan-makanan yang tahir dan tidak tahir untuk dikonsumsi umat Israel. Isi kitab Ulangan 14 merupakan sebuah pengulangan ringkas dari Imamat 11. Dalam ayat-ayat lain dalam Perjanjian Lama disebutkan hukum tahir dan tidak tahir dalam hal makanan seperti dalam: Kej. 7:2; 8:20; 15:9; Hak. 14:4, 7, 14; Yes. 65:4; 66:17; Yeh. 4:13, 14; 33:25; Hos. 9:3-4. Menurut kelompok ini ayat-ayat ini memaparkan makanan tahir dan tidak tahir dalam konteks kekudusan umat Israel. Jadi bukan sebuah keharusan moral etis teologis bagi Kekristenan masa kini.
Kelompok Kristen ini menyatakan bahwa dalam praktik kehidupan bangsa-bangsa di sekitar Israel ada larangan untuk memakan makanan tertentu. Namun, dalam konteks Israel, larangan-larangan ini memainkan peranan yang sangat penting. Peranannya yakni sikap ekspresi orang-orang Yahudi akan kesetiaan mereka kepada Allah melalui ketaatan terhadap hukum-hukum ini, bersama dengan hukum mengenai sunat dan Sabath, yang melaluinya membuat umat Israel mengekspresikan identitas mereka sebagai orang-orang Yahudi dan sekaligus sebagai pembeda Israel dari bangsa-bangsa sekitar mereka.
Argumentasi kelompok Kristen yang menyatakan bahwa semua telah digenapi dalam diri Yesus sehingga masalah makanan sehat bukanlah keharusan moral etis teologis. Artinya harus, jika tidak maka bertentangan dengan kehendak Allah. Hal ini akan menyebabkan torat baru dalam kehidupan orang Kristen. Memakan makanan sehat itu penting untuk kesehatan tubuh tetapi memakan makanan sehat tidak menjadi keharusan teologis dalam diri orang Kristen. Dengan kata lain larangan makan dan minum yang dianggap bukan makanan dan minuman sehat tidak dapat dijadikan sebagai keharusan moral.
Memakan makan dan minuman sehat sebagaimana yang diamati dalam kehidupan Daniel juga tidak dapat dijadikan sebagai keharusan moral. Dalam Daniel 1:8 ditegaskan bahwa Daniel memutuskan untuk tidak menajiskan diri dengan makanan-makanan yang diberikan pada waktu itu dalam kasus khusus yaitu santapan dan minuman raja. Ketetapan hati Daniel di atas dan permintaannya ditanggapi demikian oleh pegawai istana tersebut: “Aku takut, kalau-kalau tuanku raja, yang telah menetapkan makanan dan minumanmu, berpendapat bahwa kamu kelihatan kurang sehat dari pada orang-orang muda lain yang sebaya dengan kamu, sehingga karena kamu aku dianggap bersalah oleh raja” (1:10). Daniel kemudian menawarkan agar ia dan teman-temannya (bnd. 1:6, 11) hanya memakan sayuran selama tiga puluh hari, namun mereka tetap kelihatan lebih gemuk dari semua orang muda yang memakan santapan raja (1:12-15).
Praktik Daniel dan kawan-kawannya tidak mengindikasikan bahwa perihal memakan sayuran saja yang membuat mereka sehat dan kelihatan lebih gemuk dari orang-orang lainnya yang memakan santapan raja. Kesehatan tidak hanya bergantung pada hal makanan tetapi berhubungan iman kepada Allah. Pemahaman demikian sesuai dengan Daniel 1:8. Dalam teks ini nampak indikasi bahwa Tuhan memelihara kesehatan mereka karena komitmen mereka untuk tidak menajiskan diri mereka dengan santapan sang raja.
Dalam Imamat 11 dan Ulangan 14 terdapat informasi tentang makanan haram dan konsesus dalam tradisi Yahudi untuk tidak mencicipi makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala (bnd. 4Mak. 5:2-3; 3:3; bnd. 1Kor. 8:1-13). Namun persoalannya adalah bahwa orang-orang Babilonia mempersembahkan semua jenis makanan mereka kepada para dewa mereka. Dengan demikian, tidak ada garansi bahwa sayur-mayur yang dimakan oleh Daniel dan kawan-kawannya tidak termasuk di dalam jenis makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Semua makanan baik di Asyur maupun di Babilonia tidak terbebas dari persembahan kepada berhala dan karenanya tidak tahir secara ritual (bnd. Yeh. 4:13; Hos. 9:3, 4). Sementara itu dugaan bahwa alasan penolakan Daniel dan kawan-kawannya terhadap santapan raja berkenaan dengan hukum mengenai makanan yang tahir dan tidak tahir juga sulit untuk diterima karena dalam teks di atas mereka menolak meminum anggur dari raja padahal tidak ada larangan secara umum bagi orang-orang Yahudi untuk meminum anggur kecuali bagi kaum nazir.
Jadi, penolakan itu harus dipahami berdasarkan konsep makanan dalam konteks kovenan dalam kebudayaan pada masa itu. Pada masa itu, mencicipi hidangan yang sama berarti seseorang mengikatkan dirinya kepada pihak-pihak yang dengannya ia menyantap bersama (Kej. 31:54; Kel. 24:11; Neh. 8:9-12; bnd. Mat. 26:26-28). Dalam kategori ini, menyantap makanan raja berarti orang-orang yang berada di bawah otoritas raja itu harus menundukkan diri mereka secara mutlak kepada raja. Dalam kasus Daniel, kenajisan yang dihindari Daniel dan kawan-kawannya tidak berkaitan dengan aturan atau ritual tertentu mengenai makanan, tetapi lebih kepada keterhisaban kovenan ke dalam otoritas mutlak raja.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa kelompok Kristen yang menganut pandangan semuanya telah digenapi dalam diri Yesus memandang bahwa dalam Daniel 1:8-15 dengan Imamat 11 dan Ulangan 14 bukan pada aspek hukum dan ritualnya, melainkan konsep utamanya yaitu Allah sebagai standar ultimat yang mendefinisikan identitas diri umat-Nya dan yang menuntut kesetiaan tertinggi mereka kepada-Nya serta secara implikasi, menuntut mereka memisahkan diri dari agama-agama pagan. Agama pagan di Babel yang menyatu dengan otoritas raja, membuat Daniel dan kawan-kawannya harus bersikap tegas karena dalam konteks itu, mereka hanya berhadapan dengan dua pilihan: tunduk mutlak kepada raja yang berarti pemberontakan terhadap Tuhan atau taat kepada Tuhan yang berarti menolak untuk memasuki relasi kovenan dengan raja yang secara simbolik diperhadapkan kepada mereka melalui santapan raja.
Selanjutnya menurut kelompok ini, dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa teks yang menarasikan makanan sehat yaitu dalam Kisah Para Rasul, dan surat-surat Paulus. Markus 7:19b “Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal,” merupakan teks fundamental yang mengakhiri validitas hukum-hukum mengenai makanan yang dibicarakan dalam Perjanjian Lama.
Kelompok Kristen ini menyatakan bahwa apa yang dikatakan Yesus dalam Markus 7:19b adalah perkataan Yesus untuk melawan penyalahgunaan hukum-hukum mengenai makanan oleh tradisi Yahudi, bukan melawan hukum-hukum itu sendiri.
Dalam konteks Markus 7:1-23, Yesus bukan hanya menjawab tudingan orang-orang Yahudi terhadap para murid dan diri-Nya, melainkan juga sekaligus mengemukakan ajaran-Nya sendiri mengenai teologi makanan. Setelah menelanjangi kebangkrutan spiritual dari tradisi nenek moyang yang diacu oleh orang-orang Yahudi (7:1-13), Yesus mengalihkan arah pembicaraan-Nya kepada khalayak ramai (ay. 14a). Yesus melihat bahwa yang menjadi persoalan dalam polemik itu bukanlah reputasi para murid dan diri-Nya, melainkan orang-orang banyak itu. Orang-orang banyak itu harus dilindungi dari penekanan akan tradisi nenek moyang yang kehilangan esensi spiritualitasnya. Kemudian Ia mulai mendeklarasikan pengajaran-Nya: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah” (ay. 14b). Seruan ini merupakan himbauan bagi mereka untuk mendengarkan ajaran Yesus sendiri: “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (ay. 15). Perhatikan bahwa yang dibicarakan Yesus di sini bukan lagi soal mencuci tangan, melainkan makanan yang masuk ke dalam tubuh seseorang. Di sini Yesus tidak lagi mendefinisikan kenajisan berdasarkan hukum mengenai makanan dalam Perjanjian Lama.
Bagi Yesus, makanan itu tidak menajiskan bukan karena dijadikan halal di dalam tubuh, melainkan bahwa memang semua makanan itu pada dasarnya halal. Dan ini adalah unsur baru di dalam konteks polemik di atas yang berkenaan dengan perihal mencuci tangan sebelum makan.
Menurut Yesus, semua makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak menajiskan yang implikasinya adalah semua makanan halal seperti yang diklarifikasi oleh Markus.
Dalam Kisah 10:6-16, Petrus mendapatkan visi mengenai makanan yang tidak tahir yang mungkin bercampur dengan makanan yang tahir. Teks Kisah 10:6-16 Petrus menolak untuk memakan makanan yang tidak tahir. Hal ini dimengerti bahwa latar belakangnya adalah bahwa orang-orang Yahudi tidak bergaul dengan orang-orang non Yahudi karena bagi mereka orang-orang non Yahudi itu tidak tahir dan mereka tidak termasuk sebagai umat Allah (Kel. 19:5; 23:22; Ul. 7:6; 14:2). Namun apa yang dinyatakan halal tidak boleh dinyatakan haram. Orang-orang non Yahudi itu dinyatakan tahir oleh Allah dan diterima sebagai umat Allah. Orang-orang non Yahudi itu dinyatakan tahir, dan ini dilambangkan dengan makanan-makanan yang tidak tahir kemudian dinyatakan tahir oleh Allah: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (10:15).
Memang dalam sidang di Yerusalem (Kis. 15), keputusannya masih mempertimbangkan beberapa aturan PL mengenai makanan: makanan yang dipersembahkan kepada berhala, darah, daging binatang yang mati dicekik (ay. 29). Tetapi ini adalah hikmat dari Roh Kudus (ay. 28) dalam konteks waktu itu karena nanti di surat-suratnya, Paulus tidak lagi membahas isu ini dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang mengikat. Selain itu dalam dalam surat Roma, Paulus menegaskan bahwa kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (14:17). Dalam hubungan dengan makanan, Paulus menyatakan: “segala sesuatu suci” (14:20). Di sini, Paulus meneruskan gagasan pengajaran Yesus bahwa tidak ada makanan yang najis pada dirinya sendiri. Paulus mengajarkan tentang persoalan makanan dalam konteks kebebasan Kristen. Bagi Paulus, jemaat tidak perlu lagi mengikatkan diri dengan berbagai aturan mengenai makanan tetapi mereka harus berhati-hati agar tidak merusak pekerjaan Allah karena makanan yaitu ketika sikap mereka menjadikan orang lain tersandung (14:20).
Paulus juga menyatakan “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah” (1Kor. 8:8a). Tetapi, karena ada orang-orang tertentu yang masih mengikatkan hati nurani mereka kepada larangan akan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, maka Paulus menasihatkan mereka agar “…kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan…” (8:9). Hal ini menunjukkan bahwa Paulus mengajarkan tentang kebebasan Kristen yang bertanggung jawab: “Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan” (8:8b). Paulus menyatakan sebelumnya, yaitu: “segala sesuatu halal bagiku” (1Kor. 6:12) dan yang kemudian ia nyatakan lagi: “Segala sesuatu diperbolehkan” (10:23).
Dalam Kolose 2:16-23 Paulus melawan tendensi asketis, yaitu sikap mengebiri diri dari makanan-makanan tertentu dalam rangka mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi. Bagi Paulus, asketisme merupakan sesuatu yang sia-sia karena semua hukum mengenai makanan dan minuman termasuk juga aturan-aturan lainnya (2:16), merupakan bayangan dari karya Kristus (2:17). Paulus bahkan mendorong mereka untuk tidak mengikatkan diri dengan berbagai aturan jasmaniah: “Jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini” (Kol. 2:21; bnd. 1Tim. 4:3-4; Tit. 1:14-15).
Pada akhirnya kelompok yang menyatakan bahwa semua telah digenapkan dalam Yesus Kristus menyatakan bahwa Perjanjian Baru memandang hukum-hukum mengenai makanan yang telah dibatalkan dalam sejumlah bagian di atas, sertia tidak mengikat lagi bagi orang-orang Kristen yang hidup dalam kovenan baru, yaitu kovenan Kristus. Pemahaman ini menghantar mereka menyatakan sebuah kesimpulan yaitu tidak benar bahwa hukum-hukum mengenai makanan dalam Perjanjian Lama terus berlaku atau dinyatakan valid bagi orang-orang Kristen karena tidak memiliki aspek penggenapan dalam karya penebusan Kristus.

E. Praktik Pemeliharaan Kesehatan Tubuh
Ada sikap pro dan kontra terhadap pemeliharaan kesehatan tubuh. Namun tubuh harus dipelihara secara baik karena tubuh adalah bait Allah. Orang Kristen tidak hanya memiliki pengetahuan etis-teologis tentang kesehatan tubuh tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata. Artinya membangun pemahaman teologis tentang kesehatan tubuh bukanlah jaminan mutlak dalam mewujudkan kesehatan tubuh. Kesehatan tubuh orang Kristen hanya dapat terwujud bila ada tindakan konkrit. Itulah sebabnya maka setelah ada pemahaman teologis tentang kesehatan tubuh maka pemahaman tersebut perlu diwujudkan dalam kehidupan nyata dengan cara mempraktekkan pengetahuan tersebut.
Praktik pemeliharaan kesehatan tubuh orang Kristen dapat dilakukan melalui beberapa cara praktis seperti: tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan tubuh seperti: makanan coklat, kopi, teh. Makanan dan minuman ini secara ilmiah telah terbukti bahwa tidak berguna bagi kesehatan tubuh. Makanan dan minuman seperti ini dimakan dan diminum bukan berdasarkan pertimbangan kesehatan tetapi karena hanya untuk kepuasan keinginan saja. Tindakan seperti ini sebenarnya membahayakan tubuh orang Kristen. Dikatakan demikian karena makanan dan minuman ini mengandung sifat sifat adiktif (ketagihan) yang ditimbulkan. Makanan dan minuman seperti ini dan sejenisnya dikategorikan sebagai makanan kematian.

Previous Post
Next Post
Related Posts